Archive for 2013

Kasus Sengketa (Indonesia-Malaysia)



Patok yang diakui Malaysia, tidak sesuai dengan Traktat London tahun 1824.
“Traktat London merupakan kesepakatan penjajah dulu, Inggris dan Belanda mengenai batas kedua negara. Disebutkan batas kedua negara ini lurus,” jelas Hasanuddin dalam perbincangan dengan VIVAnews.com, Minggu 9 Oktober 2011
.
Baru-baru ini kita dihebohkan oleh temuan Wakil Ketua Komisi l DPR, TB Hasanuddin  bergesernya  tapal batas di Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan  Malaysia Timur dicaplok oleh  Malaysia,  merupakan bukti lain mengenai ancaman serius atas keutuhan wilayah NKRI.
Pantauan Hasanuddin di lapangan, patok batas kedua negara melengkung ke arah wilayah Indonesia. Akibatnya, Indonesia berpotensi kehilangan wilayah 1.400 hektare tanah di Camar Bulan dan 80 ribu meter persegi di pantai Tanjung Datu.
Sementara itu, Hikmahanto Juwana mengatakan, masalah perbatasan Indonesia dan Malaysia, khususnya di wilayah Tanjung Datu, Kalimantan Barat, muncul karena ada kesalahan penentuan titik perbatasan dua negara. Oleh kedua negara, saling klaim ini disebut sebagai Outstanding Boundary Problems (OBP). Ada 10 titik OBP di perbatasan Kalimantan yang salah satunya disebut sebagai OBP Tanjung Datu, dimana di situ terdapat Dusun Camar Bulan.
Salah satu OBP adalah Tanjung Datu , muncul karena Komisi I DPR mempermasalahkan titik yang lebih berpihak pada Malaysia. Padahal titik tersebut telah disetujui oleh Indonesia dengan Malaysia yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) pada pertemuan di Semarang pada 1978 silam.
MoU 1978 dipermasalahkan karena pengertian batas-batas alam (watershed) dalam Perjanjian 1891 serta identifikasinya di lapangan. Tim Indonesia-Malaysia ketika mencari watershed tidak menemukannya. Namun ketika metode diubah, barulah watershed ditemukan. “Sayangnya watershed yang ditemukan jauh memasuki wilayah Indonesia. Lebih disayangkan lagi ternyata watershed inilah yang kemudian disepakati pada tahun 1978,”.
Yang kemudian menjadi pertanyaan apakah MoU 1978 telah mengikat Indonesia dan apakah kesepakatan tersebut tidak dapat dibatalkan?
Hikmahanto memaparkan, secara hukum internasional, OBP Tanjung Datu yang telah dituangkan dalam MoU 1978 belum mengikat kedua negara. Ada tiga alasan yang mendasari. Pertama karena titik-titik dalam OBP belum dituangkan dalam perjanjian perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. MoU hanya mengidentifikasi berdasarkan survei secara teknis yang seharusnya ditindaklanjuti dengan perjanjian perbatasan .Kedua, berdasarkan Pasal 10 huruf (b) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka Perjanjian Internasional yang menyangkut penetapan batas harus mendapat pengesahan dari DPR. Ketiga, dalam perundingan perbatasan apapun kesepakatan yang dibuat oleh tim teknis sewaktu-waktu dapat dibatalkan bila tidak diterima oleh lembaga tinggi masing-masing negara. Kesepakatan teknis tidak dapat mengenyampingkan alasan-alasan politis kedua negara.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tene mengatakan, batas wilayah RI-Malaysia di daerah Kampung Camar, Kalimantan Barat (Kalbar), saat ini masih dalam tahap perundingan.
 Kontroversi  batas wilayah yang dicantunkan dalam berbagai dokumen hukum produk kolonial dan merugikan RI, serta menimbulkan suasana batin tidak enak bagi rakyat Indonesia yang masih ingat peristiwa Sipadan Ligitan, maupun Pulau Ambalat. Sehingga, tidak kurang menteri Menko Polhukam dan jajaran menteri di bawah segera mengadakan untuk menegaskan tidak ada wilayah RI yang ‘dicaplok’ Malaysia.
 Dalam menghadapi ancaman yang mungkin timbul, sangat diperlukan penyelenggaraan pertahanan negara yang handal serta mempunyai daya tangkal yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan pembangunan kekuatan dan kemampuan secara terus menerus dan berkesinambungan dengan memperhatikan kepentingan keamanan (security) dan kepentingan kesejahteraan (prosperity)[1]





[1] Aribowo Teguh dan H.A. Sudibyakto, Jurnal Ketahanan Nasional, Nomor XVl, April 2011, hlm 25

Langkah-langkah Konstruktivisme

            Maka konstruktivis yang dipaparkan Weldes tentang Constucted national interest  dapat digunakan adalah:
Masalah wilayah perbatasan memang perlu segera memperoleh perhatian, karena ternyata tidak saja rawan atas sengketa dan pencaplokan wilayah oleh negara lain. Namun, jika tidak diurus dan dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan banyak masalah lainnya. Oleh karena itu, agar keutuhan wilayah negeri ini tetap terjaga dan lestari. Penyesalan mengenai kehilangan wilayah, tidak terulang lagi. Dan tidak cukup hanya dengan sikap tegas, unjuk kekuatan, atau bahkan hanya dengan sekedar luapan sikap yang emosional.
            Pertama; melakukan pembinaan mengenai pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam (SDA), membangun infrastruktur dan sarana perhubungan, serta pembinaan wilayah dan pertahanan.  Pemerintah pusat perlu menetapkannya sebagai wilayah karantina, salah satunya dengan memasang mercusuar.
 Kedua, perlu dikembangkan kegiatan ekonomi di kawasan wilayah perbatasan, terutama kawasan yang memiliki kandungan sumber daya alam tambang dan minyak. Selama ini perekonomian kawasan perbatasan di kabupaten Sambas mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan kawasan perbatasan negara tetangga (Serawak Malaysia), sehingga menyebabkan tingginya tingkat kesenjangan pembangunan.
Ketiga,  mengerahkan dana dan upaya secara terpadu untuk mengamankan wilayahnya sendiri, antara lain untuk membangun pos-pos pengamatan dan pembangunan mercusuar, baik di darat maupun di laut, terutama di wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi.
Kemudian pematokan perbatasan yang paling bagus dan efektif  namun memiliki makna yang sangat penting dan strategis dalam upaya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Hilangnya tanda batas menimbulkan permasalahan yang serius diantara kedua negara yang bertetangga.
.
Selain itu, kewajiban Indonesia dan Malaysia [sebagai successor parties] untuk menindaklanjuti isi dan semangat perjanjian kolonial itu ke dalam persetujuan bilateral yang mengatur secara rinci situasi di lapangan, termasuk penetapan atau pemasangan tapal-batas di sepanjang garis demarkasi.  Indonesia mewarisi wilayah negara dari penjajah Belanda (1945) sedangkan Malaysia mewarisi wilayah dari Inggeris (1957).
BAGAIMANA seyogianya kita menyikapi sekiranya terjadi ‘gap’ antara ketentuan yang terdapat pada perjanjian internasional (termasuk buatan pemerintah kolonial Belanda dengan Inggeris) dengan dinamika atau perubahan natural di lapangan? Pertama, kita perlu mengenali adanya perbedaan dalam ‘nature’ batas-wilayah RI – Malaysia, antara batas darat dan batas laut.
Batas wilayah darat dengan mudah dan benar ditetapkan, berdasarkan koordinat yang telah ditetapkan dalam perjanjian kolonial Inggeris – Belanda.  Sekiranya ada ‘kekeliruan’ dengan mudah dikoreksi berdasarkan asas ‘in good faith’ dan ‘bertetangga baik’. Maksudnya bukan untuk ‘mengompromikan’ apa yang telah sah menjadi hak Republik Indonesia, tetapi lebih merupakan pengaturan secara detil di lapangan, termasuk penetapan koordinatnya.
Apabila isunya merupakan perdebatan hukum, bukan domain politik apalagi militer. Maka, sekiranya ada perbedaan atau kekeliruan dalam penetapan tapal-batas di lapangan verifikasi dulu, seperti disarankan oleh semua fraksi, termasuk Partai Demokrat. Sekiranya terdapat ‘gap’, mari kita selesaikan melalui cara-cara damai. Berdasarkan asas ini, apa yang menjadi ‘bones of contention’ dapat diselesaikan berdasarkan ‘political will’  yang kuat dari kedua pihak di meja perundingan dengan semangat ‘in good faith’ tapi  memiliki dasar hukum yang kuat.
Peran diplomasi tetap diperlukan oleh Kementerian Luar Negeri, namun  harus mengubah gayanya yang selama ini dilakukan, karena pandanga-pandangan yang diajukan oleh pakar Kemenlu, dan politisi di DPR tentang tidak perlunya Indonesia mediasi dalam diplomasi.[1]  
Dari beberapa langkah konstruktivisme di atas terlihat setiap kepentingan aktor terbentuk melalui proses belajar, interaksi dan persuasi  dengan aktor-aktor lingkungannya.


[1] Abu Bakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar negeri dari Realisme sampai Konstruktivisme, hlm 147

Respon Ormas-ormas Islam Terhadap Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tentang Konflik Israel-Palestina



 Sumber dari segala sumber konflik akut di kawasan Timur Tengah adalah masalah Palestina[1]. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah hak-hak sah bangsa Palestina  untuk mendirikan dan memiliki sebuah negara yang merdeka dan berdaulat serta diakui dan dilindungi lembaga-lembaga internasional. Israel maupun AS mengetahuinya. Yang sulit dipahami adalah mengapa Israel-AS sama sekali tidak menghendaki terbentuknya negara Palestina merdeka? Dubes Palestina untuk Indonesia, Ribhi Awad menemukan sebuah dokumen resmi pemerintahan AS yang secara eksplisit menyebutkan, AS mendukung setiap bangsa manapun di dunia ini untuk mendirikan sebuah negara merdeka, kecuali bangsa Palestina. Dengan kata lain, AS  terus berusaha keras mencegah terbentuknya  sebuah negara Palestina.[2]
Bangsa Palestina tidak hanya menderita secara politik, namun dari waktu ke waktu juga berada dalam situasi memprihatinkan dari segi sosial ekonomi.  Meningkatnya kekejaman Israel terhadap warga Palestina, membangkitkan kemarahan, tidak hanya di kalangan Palestina, melainkan juga di dunia Arab dan Islam[3] .Misalnya, di Jakarta berlangsung seminar dan simposium yang mengambil tema “Achieving a just, comprehensive and lasting solutiuon of the question of Palestina-the role of Asia”, dan dihadiri sekitar 150 delegasi dari berbagai negara (terutama Asia). Forum ini merupakan bagian dari upaya PBB untuk mempromosikan  pemecahan menyeluruh, adil dan abadi atas masalah Palestina, serta untuk memobilisasi dukungan dan bantuan internasional bagi bangsa Palestina. Dari simposium ini terlihat suatu keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran HAM oleh Israel. Karenanya penting sekali peranan negara-negara di dunia teutama Asia yang mempunyai keterikatan historis dan spiritual dalam mendukung rakyat Palestina untuk mendapatkan hak-haknya sebagai bangsa merdeka dan berdaulat. [4]  
LSM-LSM di Asia juga  diharapkan ikut ambil bagian dalam memobilisasi dukungan publik dari kawasan ini bagi terciptanya pemecahan masalah Palestina secara adil dan komprehensif, yang dilandaskan atas resolusi-resolusi PBB. Mobilisasi diharapkan pula melibatkan media masa, serikat buruh, organisasi-organisasi pemuda dan wanita, kelompok bisnis dan sektor swasta, serta lembaga akademis dan kebudayaan yang ada di seluruh kawasan Asia dan Pasifik. Namun, keikutsertaan negara-negara Asia dalam memecahkan masalah Palestina menghadapi sejumlah persoalan, di antaranya adalah; pertama, beberapa negara di Asia sendiri tengah dihadapkan pada problem yang “mirip” dengan masalah Palestina; seperti soal Kashmir di India, Aborigin di Australia. Papua dan Aceh di Indonesia. Kedua, sulit dipungkiri;  mayoritas negara di Asia merupakan “sekutu AS”. Padahal siapapun tahu, AS merupakan pendukung utama Israel, dan Washington tidak pernah sedikitpun mengendurkan kesetiaannya pada negara Yahudi itu. Dengan situasi demikian, sangat diragukan keberanian Asia mengambil sikap yang berseberangan dengan AS[5]
Berbeda dengan AS dan PBB negara-negara di belahan dunia Eropa sejak awal tahun 2000-an berani mengambil sikap yang lebih kritis terhadap Israel. Antara lain terlihat dari sikap yang ditunujukkan LSM di Eropa yang secara terang-terangan mengecam pelanggaran HAM yang dilakukan Israel. LSM Eropa juga sering menggalang demonstrasi secara besar-besaran untuk menentang Israel.[6]
Pada tingkat masyarakat Indonesia, terutama di kalangan mayoritas kaum Muslim Indonesia umumnya masih lebih kuat arus yang menolak pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel. Alasannya, selama Israel masih belum bersedia melepaskan penjajahannya atas semua wilayah bangsa Arab-termasuk kota suci Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Mesjid Al-Aqsa-yang didudukinya sejak 1967, tidak seharusnya pemerintah RI membuka hubungan resmi dengan Israel.
Soal pembukaan hubungan diplomatik RI-Israel muncul ketika Menhankan Edi Sudrajat yang menyatakan Indonesia akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika negara-negara Arab sudah mengambil keputusan itu. Pernyataan itu menyulut reaksi keras dari masyarakat Muslim Indonesia, sebagaimana terlihat dari digelarnya apel anti-Israel di Masjid Al-Azhar (19 September 1993), yang dihadiri sekitar 15.000 orang. Kehebohan terjadi lagi ketika muncul berita tentang kedatangan delegasi Israel-yang diwakili Dubes Israel di Singapura Megiddo dan Modechai Ben Ari (Deputi Direktur Jenderal Departemen Pariwisata Israel)-dalam sidang umum WTO (World Tourism Organization) di Denpasar, Oktober 1993. Semua tokoh dan lembaga Islam mengeluarkan reaksi bernada protes terhadap keputusan pemerintah RI yang mengundang delegasi Israel itu. Menanggapi reaksi itu Menko Polkam Soesilo Soedarman buru-buru menegaskan, kedatangan delegasi Israel ke Denpasar bukan diundang pemerintah Indonesia Jakarta, melainkan  WTO.[7]
Ketika Arafat  dan Yitzak Rabin melaksanakan  pembicaraan rahasia yang menghasilkan penandatanganan pakta perdamaian di Washington DC 13 September 1993, Presiden Soeharto memberikan dukungannya. Meskipun memberikan dukungannya pada pakta perdamaian PLO dengan Israel tersebut, namun pendapat di Indonesia masih terpecah. Banyak kalangan Islam menginginkan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel karena PLO telah melakukannya, dan  lainnya masih tetap keberatan-mereka mau menunggu sampai Israel mengembalikan seluruh tanah yang didudukinya ke negara-negara Arab. Abdurahman Wahid, pimpinan tertinggi NU[8], adalah penganjur utama normalisasi hubungan itu. Ia bahkan  menerima undangan Harry Truman Institute di Tel Aviv untuk menghadiri seminar dan menyaksikan penandatanganan pakta perdamaian antara Yordania dengan Israel.[9] Namun demikian, ia dikritik  Pimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang curiga pada kesungguhan hati Israel. Aisyah Aminy, seorang anggota  DPR wakil dari PPP, mengatakan bahwa Israel “ tidak menghargai hak-hak asasi manusia” dan untuk mengakui Israel saat ini sebenarnya hanya memperkuat posisi Israel.[10] Tetapi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) sejalan dengan Wahid dalam isu ini.
Belum reda reaksi terhadap kehadiran delegasi Israel itu, pada bulan yang sama, Rabin “mendadak” singgah di Jakarta dan mengadakan pertemuan selama sekitar satu jam dengan Soeharto di Cendana 15 Oktober 1993. Sekalipun Mensesneg Meordiono menegaskan, dalam menerima Rabin. Presiden Soeharto bertindak “bukan sebagai Presiden RI” melainkan selaku Ketua GNB, namun reaksi keras kembali bermunculan. Demonstrasi para pemuda dan mahasiswa Islam yang menentang kedatangan Rabin, antara lain terjadi di Jawa Timur. Aksi serupa diselenggarakan kelompok yang menamakan dirinya sebagai HIPMAZ (Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Anti Zionisme) di Jakarta.[11]   
Reaksi RI-Israel muncul kembali sewaktu lima senator AS berkunjung ke Jakarta pertengahan Januari 1994 dan mendesak RI agar mengakui dan membuka  hubungan diplomatik dengan Israel. Hanya sepekan setelah adanya desakan dari para senator AS itu, pada 22 Januari 1994 muncul berita adanya dua perusahaan Israel (Alhit dan BVR) yang berminat membangun pangkalan angkatan udara di Indonesia. Hal ini kemudian dibantah  Edi Sudrajat. Pada Februari 1994, Tel Aviv mengundang 4 wartawan Indonesia berkunjung ke Israel serta mengadakan wawancara dengan Rabin. Dalam wawancara itu, Rabin (PM Israel waktu itu) menyatakan harapannya agar hubungan diplomatik RI-Israel supaya segera diwujudkan.
Berita itu cukup menarik, setidaknya, karena ada tiga hal. Pertama, inilah untuk pertama kalinya pemerintah Israel secara resmi mengundang dan mengadakan wawancara khusus dengan para wartawan Indonesia, Kedua, satu di antara empat wartawan Indonesia yang diundang ke Israel adalah dari Republika, -yang karena statusnya sebagai “koran ICMI”-dianggap sebagai salah satu media masa yang mewakili aspirasi umat Islam Indonesia. Ketiga, dalam kesempatan itu Rabin juga sempat “membuka rahasia” bahwa dalam pertemuannya dengan Soeharto di Jakarta  (Oktober 1993) telah dicapai kesepakatan, bahwa secara bertahap (RI dan Israel) akan menciptakan kondisi-misalnya melalui hubungan bisnis-bagi timbulnya hubungan lebih baik.[12]
Pada akhir Oktober 1994, empat tokoh Islam Indonesia-yaitu Abdurahman Wahid (NU), Habib Chirzin (Muhammadiyah), Djohan Effendi (Departemen Agama) dan Bondan Gunawan (Fordem)-berkunjung ke Israel[13] atas undangan pemerintah setempat guna menghadiri seminar tentang perdamaian yang diselenggarakan  Institut Harry S. Truman, dan sekaligus menyaksikan penandatanganan perjanjian perdamaian Yordania-Israel yang disponsori Amerika, akhir Oktober 1994.  Keempat tokoh Islam  Indonesia itu juga dikabarkan sempat mengadakan pembicaraan dengan Menlu Israel.[14]  
Sepulangnya dari Israel, Abdurahaman Wahid (waktu itu Ketua PB NU) dengan lantang menyerukan kepada pemerintah RI agar segera menjalin hubungan dengan Israel. Pembukaan hubungan itu, katanya akan menguntungkan posisi RI di dunia internasional. “Sudah waktunya Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Dengan demikian, kita akan lebih berperan untuk membantu perjuangan bangsa Arab”, kata Wahid[15]. Pernyataan Wahid ini kemudian menyulut kontroversi di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Pada Oktober-November 1994, semakin marak kontroversi yang muncul akibat pernyataan Wahid itu. Ketika mulai timbul suara-suara yang menentang gagasannya. Wahid “meralat”; “Saya tak mengusulkan, tapi minta dipikirkan serius”, katanya.[16] Ia menambahkan, “jika antara Arab dan Israel saja tidak ada masalah, mengapa kita justru selalu mempermasalahkannya.[17]
Pertengahan Desember 1994, sejumlah ulama mendatangi gedung DPR-RI guna menyampaikan sebuah petisi menyangkut persoalan hubungan RI-Israel. Petisi-yang merupakan kelanjutan dari hasil pertemuan 41 alim ulama di Jakarta, awal Desember 1994-itu antara lain berisi tuntutan agar pemerintah RI tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tuntutan itu jelas merupakan  reaksi terhadap imbauan Wahid agar Jakarta segera menjalin hubungan dengan Tel Aviv, yang kemudian membangkitkan kemarahan mayoritas umat Islam Indonesia.
Isu hubungan RI-Israel kembali muncul, ketika bertempat di presidential suite, lantai 41 Hotel Waldorf Towers, New York, 22 Oktober 1995, terjadi pertemuan “mendadak” ke-ll antara Soeharto dan Rabin, yang juga sempat diwarnai “insiden” antar-para pengawal dua pemimpin. Dalam pertemuan-yang menurut Mensesneg (waktu itu) Moerdiono “sedikit mendadak”-itu, Rabin dikabarkan “hanya” menjelaskan kepada Soeharto soal perkembangan terakhir di kawasan Timur tengah, khususnya setelah tercapainya Perjanjian Oslo ll, 28 September 1995.[18] Moerdiono tidak memberikan penjelasan yang jelas apakah dalam pertemuan itu juga disinggung soal kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik RI-Israel.
Aksi penolakan juga dilakukan oleh sejumlah ormas Islam[19], kalangan mahasiswa Islam, dan sejumlah anggota parlemen. Yang mengutuk kekejaman Israel terhadap Palestina. Reaksi bernada keberatan juga datang  dari 16 Duta besar negara-negara Arab di Jakarta. Bahkan sejumlah ormas dan LSM Islam sempat menggalang dana guna mendukung perjuangan bangsa Palestina; di antara mereka juga ada yang membuka pendaftaran bagi warga Indonesia yang ingin “berjihad” melawan Israel. Hal ini sekaligus menunjukkan, masalah hubungan dengan Israel merupakan  yang sangat sensitif di kalangan publik Indonesia.[20]
Namun, di samping yang menolak, ada juga yang mendukung rencana pembukaan hubungan (resmi) dagang dengan Israel. Mereka yang kontra umumnya dilandasi pada argumentasi bahwa kaum zionis masih menjajah dan menindas bangsa Palestina, serta tidak mau menaati Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 242 dan 338 yang menyerukan agar Israel menarik diri dari wilayah Arab (yaitu seluruh wilayah Palestina, Lebanon Selatan, Dataran Tinggi Golan milik Suriah)  yang mereka duduki sejak perang 1967 dan 1973. Sebaliknya, mereka yang mendukung, umumnya berargumen bahwa hubungan dagang RI-Israel sebenarnya sudah berjalan, walaupun secara diam-diam; dan bahwa eksistensi negara Israel tidak bisa dipungkiri. Oleh karenanya, berdagang dengan Israel tidak ada bedanya dengan berdagang dengan negara-negara lain manapun.[21]
Terlepas dari pro dan kontra yang semakin mengeras di kalangan masyarakat Indonesia dalam hal isyu menjalin hubungan dagang dengan Israel, tidak salahnya jika pemerintah Indonesia memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, masalah Palestina-Israel mengandung muatan aspek politik dan sekaligus agama. Oeh sebab itu, segala kebijakan yang berkaitan dengan masalah itu harus ditangani secara hati-hati. Perlu diingat, soal Israel tidak sepenuhnya bisa lepas dari aspek agama. Israel, misalnya, tidak segan-segan memanfaatkan hubungan dagang dengan negara mana pun guna semakin mengeraskan penindasan mereka terhadap bangsa Palestina, termasuk merusak Masjid Al-Aqsha, seperti yang dilakukan Ariel Sharon pada September 2000.
Kedua, intensifkan dialog dengan berbagai kalangan masyarakat (parlemen, kampus, ormas, dll) sebelum pada waktunya nanti memutuskan membuka secara resmi kontak dagang dengan Israel. Kendati pemerintah Presiden Wahid pada 1999  menegaskan tidak akan membuka hubungan diplomatik (hingga Palestina diberi kemerdekaan), namun anggapan yang berkembang dalam masyarakat adalah hubungan dagang dapat dipakai sebagai “jembatan” menuju pembukaan hubungan diplomatik penuh dengan Israel sebagaimana yang sudah terbukti dalam kasus hubungan RI-RRC beberapa tahun silam..
Ketiga, Jakarta sebaiknya perlu belajar pada pengalaman negara-negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam) lain yang telah membuka hubungan –ekonomi maupun politik-dengan Israel seperti Turki, Mesir dan, Yordania. Benarkah ekonomi mereka bertambah baik setelah berhubungan dengan Israel? Bukankah negara-negara seperti Maroko, Tunisia, Qatar, dan Oman (yang telah menjalin hubungan bisnis dengan Israel) justru sering dibuat kecewa oleh negara Zionis Itu? Dan, jika Lobi Yahudi memang benar-benar (bukan sekadar mitos) mempunyai pengaruh besar di pentas politik internasional, mengapa Turki-yang bahkan sudah menjalin kerja sama di bidang hankam dengan Tel Aviv-hingga akhir 2004, masih ditolak untuk menjadi anggota Uni Eropa?
Keempat, berikan kesempatan terlebih dahulu kepada pihak Palestina dan Israel untuk menyelesaikan proses perundingan damai mereka. Jika Indonesia membuka hubungan dagang dengan Israel, hal ini justru membangkitkan aksi-aksi protes dari berbagai kalangan masyarakat; dan bila aksi-aksi penolakan ini semakin meluas dan mengeras, tampaknya tidak ada investor asing-apa pun keturunannya-yang mau datang ke Indonesia. Padahal (rencana) pembukaan hubungan dagang dengan Israel waktu itu dimaksudkan untuk menarik para investor besar AS yang keturunan Yahudi?[22]






[1] Konflik Palestina dan Israel adalah konflik politik yang memperebutkan wilayah di mana akar masalahnya bermuara pada persoalan ideologis sehingga sangat susah diselesaikan. Mengenai konflik ini, selain di harian media Arab Timur Tengah, banyak pula literatur yang mengkaji akar masalah konflik tersebut. Di Mesir misalnya, pakar Yahudi Abdul Wahab Masiri menelurkan karya-karya seputar Yahudi baik kajian historis, teologis maupun konlik Palestina-Israel.Lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis; Konflik Yahudi Kristen, dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004. Hlm 19
[2] Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah, hlm 319
[3]Setiap terjadi eskalasi pelanggaran HAM yang dilakukan Israel, OKI dan Liga Arab meresponnya  tetapi tidak terlihat kesungguhan negara-negara Arab  membela bangsa Palestina. Mereka sering terjebak untuk lebih gemar meneriakkan retorika ketimbang aksi. Dan juga pengaruh dominasi AS yang sangat kuat dalam membela Israel. (Lihat Peter Rosler Garcia, “AS Negara Adikuasa dalam Jalan Keliru,” Kompas (19 September 2002)
[4] Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah,thlm 334
[5] Ibid, hlm 336
[6] Ibid, hlm 326
[7] Ibid, hlm 338
[8] Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasio sosial dan pendidikan lahir 31 Januari 1926 di Surabaya. “Rois Akbar” (Ketua Umum) pertama dijabat KH. Hasyim Asy’ari dan  Khatib Awwal. KH. Hasyim Asyari adalah Kakek Abdurahman Wahid dan ayah dari Wahid Hasyim. Kekuatan utama NU  merekatkan dirinya dengan massa rakyat adalah hadirnya figur kyai sebagai pemimpin organisasi. Kyai, selain biasanya berasal dari “orang berada” pemilik tanah-tanah yang luas, juga berasal dari kaum priyayi. (Lihat “Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, Farchan Bulkin (Ed(, Jakarta, LP3ES , 1985. Cetakan Pertanma. hlm 235 
[9] Merdeka 7 Nopember 1994, Gatra, 31 Desember 1994, hlm 21
[10] Merdeka, 7 Nopember 1994
[11] Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah, hlm 337-338
[12] Ibid, 339
[13] Berita-berita tidak resmi yang tersebar luas dikalangan masyarakat menyebutkan bahwa kepergian mereka ke Israel atas “restu” dan “sponsor” pihak Sekretariat Negara RI
[14] Yang antara lain dilaporkan Republika dan Media Indonesia, 15 Pebruari 1994
[15] Majalah Gatra,  19 Nopember 1994
[16] Majalah Gatra, 26 Nopember 1994
[17] Panji Masyarakat, Januari 1995
[18] Lihat, Israeli Palestinian Interim Agreement on the West Bank and the Gaza Strip (Jerusalem: Israel Information Center, Ministry of Foreign Affairs, 1995
[19]Sebagaimana diketahui mereka yang menolak pembukaan hubungan dagang RI-Israel juga datang dari kalangan NU dan Muhammadiyah, di samping berbagai organisasi dan kelompok masyarakat dan mahasiswa seperti KAMMI, Gamais-ITB, Salam-UI, DDII, KISDI, KWPB, FPU. Lihat Riza Sihbudi, Op-Cit, hlm 351)
[20] Sihbudi, Riza, Menyendera Timur Tengah, hlm 345
[21] Harian Republika, 19 Noveember 1999.
[22] Sihbudi, Riza, Menyendera Timur Tengah, hlm 345

Kebijakan Indonesia Terhadap Konflik Israel Palestina Pada Masa Soeharto



Dalam perwujudan operasionalnya, politik luar negeri suatu negara senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Penyesuaian itu bagi Indonesia berarti aktif berperan dalam mengusahakan agar perubahan dan perkembangan itu mengarah kepada terwujudnya dunia yang lebih damai, lebih adil dan lebih sejahtera menuju sasaran-sasaran kepentingan nasaional  kita. Karena itu, diplomasi Indonesia merupakan suatu upaya besar untuk menghimpun berbagai unsur kekuatan nasional secara maksimal guna memajukan kepentingan nasional secara langsung.
Politik luar negeri suatu negara bangsa biasanya didasarkan atas landasan-landasan tertentu yang pada hakikatnya merupakan kemudi dalam pelaksanaannya. Bagi Indonesia, Pancasila merupakan landasan idiil politik luar negeri; dan politik luar negeri Indonesia umumnya selalu didasarkan kepada ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasa 1945. Ini dimaksudkan agar landasan falsafah, haluannya, strateginya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan konstitusional yang telah digariskan; betapapun situasi dunia berubah.[1]
Dilihat dari sudut UUD 1945 dan GBHN, mewajibkan Indonesia ikut serta menyelesaikan persoalan-persoalan dunia secara damai. Penyelesaian Timur Tengah seperti perang Israel-Palestina secara tidak langsung juga menyangkut kepentingan Indonesia, antara lain bahwa Indonesia dan Timur Tengah sama-sama anggota gerakan Non-Blok, OKI, OPEC. Dan dalam sejarah,  negara-negara Timur Tengah tergolong pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia mendukung ketika pada  5 November 1956 dinyatakan bahwa PBB akan membentuk pasukan untuk memelihara keamanan dan mengawasi penghentian tindakan permusuhan di Timur Tengah (Terusan Suez).[2]
Dalam kesempatan itu, Indonesia untuk pertama kalinya ikut ambil bagian dalam misi Pasukan Pemeliharaan Perdamaian PBB (UNEF) untuk Timur Tengah dengan mengirimkan Pasukan Garuda 1. Partisipasi dalam UNEF ini merupakan sumbangan bangsa Indonesia sebagai solidaritas dengan negara-negara Timur Tengah khususnya dan Asia-Afrika umumnya. Sebaliknya, negara-negara Timur Tengah dan Afrika juga memberikan dukungan besar mereka kepada perjuangan Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat. Kenyataan ini bukan hanya semakin meningkatkan dan memperkokoh solidaritas di antara mereka, tetapi juga memperlihatkan timbal balik yang saling menguntungkan.[3]
Indonesia juga mendukung Resolusi Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 194 tentang isu Palestina. Resolusi ini dikeluarkan pada 11 Desember 1948 yang berbunyi: Majelis Umum menegaskan bahwa harus diizinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali  ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangganya, dan demikian juga harus mendapat ganti rugi dari harta benda yang ditinggalkan, dan mendapat ganti rugi dari kerugian atau kerusakan harta benda sesuai dengan hukum internasional dan standar keadilan bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi.[4]
Resolusi ini mempunyai dampak positif sangat besar bagi orang-orang Palestina yang meninggalkan kampung halamannya pada saat itu karena keadaan sangat darurat; berbahaya apabila tidak keluar dari kampungnya. Oleh karena itu Indonesia sangat setuju atas dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBB yang memberikan hak-haknya atas rakyat Palestina.
Pergantian pemerintahan dari Orde lama ke Orde baru di bawah Soeharto  1965 cenderung semakin memperburuk hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur-Tengah. Hal ini terlihat dari respon dan sikap Indonesia dalam masalah konflik Arab - Israel[5]. Bila dalam masalah Terusan Suez  pada 1956, Indonesia dengan tegas berpihak pada negara-negara Arab, dalam perang Arab-Israel 1967 Indonesia memperlihatkan sikap kurang tegas. Hal ini menimbulkan prasangka negara-negara Arab, bahwa posisi Indonesia sejak perang 1967 lebih banyak menguntungkan Israel daripada negara-negara Arab.[6] Sikap Indonesia yang demikian itu berlangsung selama kurang lebih 12 tahun menimbulkan kecurigaan negara-negara arab terhadap Indonesia.
Kenyataan itu sebenarnya dapat digunakan dasar untuk menilai hubungan Indonesia dengan negara-negara Arab Timur Tengah. Memang bagi sementara negara-negara Timur Tengah  yang radikal misalnya Irak, Suriah dan Libya, sikap Indonesia yang tidak tegas mendukung perjuangan negara-negara Arab menghadapi Israel jelas kurang menguntungkan mereka. Tetapi sebaliknya bagi Mesir, Arab Saudi, Kuwait dan Emirat Arab yang moderat, sikap seperti itu mungkin dapat diterima  mereka.[7]
Dengan sikap Indonesia yang moderat, dukungan Indonesia kepada negara-negara Arab memang tidak sebesar periode sebelumnya pada masa Presiden Soekarno. Padahal sikap Indonesia yang tetap berpihak pada perjuangan negara-negara Arab sangat dibutuhkan negara-negara di Timur Tengah. Mereka bahkan sangat mengharapkan partisipasi Indonesia. Demikian pula mereka membutuhkan dukungan Indonesia terhadap kegiatan-kegiatan konfrensi Para Menteri Luar Negeri negara-negara Islam.
Sikap Indonesia pada saat itu dilandasi oleh realisme dan pragmatisme. Hal ini kemungkinan besar merupakan faktor penyebab kecurigaan negara-negara Arab tersebut. Kepentingan nasional Indonesia tertinggi pada masa itu ialah pembangunan nasional yang dititikberatkan pada bidang ekonomi guna  memperoleh ketahanan nasional yang optimal. Sehingga pragmatisme menghendaki politik luar negeri yang ditujukan untuk menjajagi dan meletakkan hubungan-hubungan yang dapat membantu Indonesia dalam menyukseskan strategi pembangunan nasional  .Misalnya penjadwalan hutang luar negeri yang kian menumpuk; memperoleh akses ke sumber-sumber bantuan ekonomi, investasi modal, dan alih tehnologi. Semuanya ini pada umumnya didiidentifikasikan dengan hubungan ekonomi, perdagangan Indonesia dengan negara-negara Barat yang cenderung berlebihan. Akhirnya Indonesia dihadapkan pada dilema antara kepentingan nasional yang harus diprioritaskan dan meningkatkan hubungan diplomasi lebih erat dengan negara-negara Timur Tengah.[8]
Pada awalnya pemerintah Orde Baru yang didukung  kelompok Abangan[9], sekuler, dan non Muslim sering membuat kebijakan-kebijakan bersifat restriktif pada Islam yang berakibat mengendurnya hubungan Indonesia dengan Timur Tengah. Di samping itu, tidak dapat disangkal tindakan restriktif tersebut mengakibatkan berkurang peran agama dan ulama dalam kehidupan nasional dan internasional. Pemerintah mendukung aktifitas agama dalam bentuk ibadah dan tidak dimanifestasikan sebagai kekuatan politik.[10] Kebijakan mengontrol ketat  setiap kegiatan  masyarakat dalam   melaksanakan pembangunan  sehingga negara /penguasa semakin berkuasa daripada masyarakat. Hal ini berdampak negatif  pada umat Islam yang merupakan pemeluk agama mayoritas. Tetapi sejak akhir 1980-an Presiden Soeharto menjadi lebih jinak, bersahabat, dan akrab dengan Islam.[11] Kedudukan “Islam budaya” (Cultural Islam) menguat di dalam negeri Indonesia. Sedangkan politik luar negeri Indonesia meskipun masih tidak berdasarkan Islam, tetapi hubungan dengan negara-negara Muslim menjadi kembali lebih dekat daripada masa-masa lampau.[12]
Pihak Departemen Luar Negeri Indonesia sendiri menyatakan, dukungan Indonesia terhadap negara-negara Arab menentang Israel didasarkan pada prinsip keadilan, yang juga merupakan prinsip “politik luar negeri Indonesia”[13] Faktor kesamaan agama hanya tambahan saja.[14] Begitu juga dukungan Indonesia terhadap penggunaan minyak sebagai alat politik luar negeri negara-negara Arab dibarengi dengan harapan bahwa perseteruan harus dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Selanjutnya,  pemakaian minyak sebagai senjata untuk jangka pendek akan merugikan AS, Jepang dan Eropa, walau dapat membantu perjuangan negara-negara Arab.
 Pada masa Soeharto, hubungan Indonesia yang lebih menitik beratkan pada kawasan Asia Tenggara dan condong ke Barat yang mempengaruhi tingkat keeratan hubungan itu. Misalnya Indonesia tidak menunjukkan sikap yang kongkrit setelah perang Arab-Israel 1973, ketika negara-negara Arab anggota OPEC melakukan embargo minyak terhadap negara industri pada 1973-1974. Oleh karena itu, mayoritas negara-negara Arab Timur Tengah menentang posisi Indonesia dalam kasus Timor-Timur di PBB pada 1976. Hal ini tampaknya disadari kedua pihak yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menata kembali hubungan tersebut dan berupaya menghilangkan berbagai kendala atau hambatan. Hal ini ditandai dengan kunjungan Presiden Soeharto ke Timur Tengah pada 1977.[15]
Indonesia menyadari pentingnya  kebijakan politik luar negeri untuk melaksanakan pembangunan yang memerlukan kondisi stabil, aman dan damai, bukan hanya di dalam negeri, sekitar wilayah Indonesia bahkan ke wilayah-wilayah yang lebih jauh lagi diantaranya dengan Timur Tengah. Karena itu, pada  Oktober 1977 Presiden Soeharto berkunjung ke beberapa negara Arab di Timur Tengah antara lain: Mesir, Arab Saudi, Kuwait, Suriah, Bahrain, Qatar dan Uni Emirat Arab untuk menjalin hubungan yang lebih erat baik dalam bidang ekonomi, politik dan lain sebagainya.  
Keterkaitan antara perjuangan bangsa Palestina dan masalah pembukaan hubungan diplomatik RI-Israel, menjadi dua hal yang sulit dipisahkan dalam kerangka pelaksanaan kebijakan RI. Paling tidak ini tercermin dari pernyataan dari seorang pejabat tinggi Deplu RI, hubungan bilateral RI-Israel baru dapat dijalin setelah tercapainya perdamaian menyeluruh di Timur-Tengah.[16]
Sedangkan terhadap Organisasi Pembebasan Palestina, Presiden Soeharto pada  30 Nopember 1987 membuat pernyataan tegas mendukung sepenuhnya rakyat Palestina dalam perjuangan mereka mempertahankan hak-hak mereka yang tidak bisa dihilangkan. Presiden Soeharto menyatakan;  “sebagai suatu bangsa, yang bangga akan warisan perjuangan melawan pendudukan kolonial demi kemerdekaan nasional, kita bangsa Indonesia selalu memandang perjuangan Palestina sebagai suatu perkara suci, seperti perjuangan kita sebagai bagian dari gerakan global yang tidak dapat diingkari melawan kekuatan kolonial dan dominasi asing[17]. Ia juga menyatakan; konflik di Timur Tengah hanya dapat diselesaikan jika rakyat Palestina diberi kemerdekaan atas negaranya dan Israel meninggalkan tanpa syarat seluruh wilayah  yang diduduki, termasuk Jerusalem[18]. Islam secara jelas tidak muncul dalam pernyataannya. Arafat sendiri juga menyatakan pada Tempo dalam wawancaranya ia tidak ingin mendirikan negara Islam Palestina, tetapi suatu negara demokrasi yang dapat melindungi seluruh agama.[19][20]
Memang benar, Islam bukan pertimbangan utama dalam politik luar negeri Soeharto; hal ini merupakan konsekuensi logis dari negara nasional Indonesia yang tidak menjadikan agama sebagai dasar negara; ditambah lagi  kebijakan “depolitisasi Islam” yang dianut pemerintah Orde Baru, sehingga legitimasi agama hanya diperlukan untuk hal-hal mendasar saja.[21].
 Pemerintah mendukung aktivitas agama berbentuk ibadah dan tidak dimanifestasikan sebagai kekuatan politik.[22] Pendirian kantor Organisasi Pembebasan  Palestina (PLO) dapat dipakai sebagai suatu contoh. Di tahun 1974, Adam Malik tidak keberatan atas pembukaan sebuah kantor di Jakarta untuk PLO meskipun ini bukanlah permintaan resmi sebagai perwakilan.[23] Di tahun berikutnya, Adam Malik sekali lagi menyatakan, pada dasarnya Indonesia setuju pada ide dari misi PLO jika itu dibentuk sesuai dengan “norma-norma yang sudah lazim”.[24]  Tetapi rencana Adam Malik itu diveto  militer dan persoalan kantor PLO dikesampingkan.[25] Kelihatannya militer sangat khawatir mengenai aktifitas terorisme yang dilakukan PLO dan Muslim radikal di Indonesia. Selain itu, militer juga khawatir kaitan PLO dengan negara-negara Komunis yang mungkin menimbulkan ancaman keamanan. Lagi pula, terdapat pergulatan internal di dalam tubuh PLO yang dapat terbawa ke Indonesia.[26]
Setidaknya ada tiga pola hubungan terjadi antara Orde Baru dan Islam yang berkuasa selama 32 tahun. Pertama, pada 70-an hubungan Islam dan Orde baru bersifat konfrontatif, rivalitas atau antagonis. Pada waktu itu, hubungan Islam dan negara tampak renggang, bertolak belakang dan bermusuhan, bahkan bertentangan. Periode ini ditandai kuatnya negara secara ideologi politik menguasai wacana pemikiran sosial politik dikalangan masyarakat. Orde Baru memberlakukan Islam sebatas memajukan kesalehan pribadi dan menentang politisasi agama.[27] Kedua, hubungan Islam dan Orde Baru bersifat reaktif kritis atau resiplokal, yaitu suatu hubungan mengarah tumbuhnya saling pengertian timbalk balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Pada periode ini, Orde Baru mulai memandang Islam merupakan denominasi politik yang tidak bisa dikesampingkan. Dan ini berdampak  membaiknya hubungan Indonesia-Timur-Tengah. Dan ketiga, bersifat akomodatif atau integratif simbiosis. Pola hubungan ini saling mengerti antara awal hingga akhir 1990-an ditandai dengan resfonsipnya pemerintah terhadap kelompok Islam.[28] 
Kebijakan Indonesaia atas Israel sejak kemerdekaan sampai masa Soeharto pada dasarnya tidak pernah berubah; tetap tidak mengakui negara Israel dan karena itu tidak ada hubungan diplomatik dan tidak ada kantor perwakilan di antara kedua belah pihak.




[1] Djalal, Hasyim, Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990, CSIS, Jakarta, 1990. Cetakan Pertama, hlm 24
[2] Ibid, hlm 251-254
[3] Abdulgani, Ruslan, Hubungan Indonesia dengan Mesir dan Timur Tengah Sepanjang Sejarah, Jakarta, 1974. Hlm 40
[4] Rahmat, Musthafa, Abd, Jejak-jejak Juang Palestina, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2002. Cetakan Pertama, hlm 274
[5] Ada beberapa faktor  yang memperburuk hubungan Indonesia-Timur Tengah 1. Politik luar negeri Soeharto sebelum tahun 1990-an tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan Islam, Kedua perasaan Jawanisme yang kuat memandang dunia dari pandangan Jawa: Jawa adalah pusat dari dunia, dan Indonesia ditakdirkan untuk memainkan suatu peran dominan dalam masalah-masalah dunia.  Dan ini telah mempengaruhi prosese pembuatan keputusan, tidak hanya dalam politik dalam negeri namun juga dalam politik luar negeri, suatu fakta yang menjadi semakin jelas dalam tahun-tahun berikuitnya. Masukan dari mereka yang ada dibawahnya menjadi terbatas. .Ketriga; peranan militer  sangat dominan dalam memutuskan kebijakan politik luar negerinya. Lihat Benedict Anderson, “The Ideas of Power in Javanese Culture”, dalam Cliare Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972, hlm 36-38
[6] Soetomo, Rusnandi, Hubungan Antara Indonesia dan Timur tengah; Analisa vlll, no. 3, CSIS, 1979. Hlm 250
[7] Ibid
[8] Soetomo, Rusmadi, Op-Cit, halaman 250
[9] Konsep abangan-santri-priyayi di Jawa ditampilkan secara lengkap dalam karya klasik Clifford Geertz: The  Religion of Java, New York: Free Press, 1959. Konsep ini dikritik oleh para akademisi. Misalnya, priyayi (bangsawan atau pejabat) adalah kategori sosial tetapi bukan kategori religius. Lainnya menyatakan bahwa ini adalah konsep kuno karena pembagian ini tidak jelas. Namun demikian, perbedaan ini tidak hilang begitu saja meskipun sebagian abangan telah menjalankan ritual lebih islami
Perlu diketahui, Koentjaraningrat lebih suka memakai istilah agami Jawi daripada Abangan dalam karyanya Javanese Culture (Singapore: Oxford University Press, 1985), hlm 316-317 dan memandang agami Jawi sebagai “suatu variasi dari Islam Jawa”.
[10] Tahqiq, Nanang, , Politik Islam , Prenada Media, Jakarta: 2004. Edisi Pertama, hlm 106
[11]  ibid, hlm 173
[12] Suryadinata, Leo,  Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Soeharto, PT Pustaka LP3ES, Jakarta: 1998. hlm 248
[13]Sulaeman, Suli,  Garis-garis Besar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, (Bagian l, 1974), Direktorat Research-Penerbitan N0. 003B/1974, Jakarta, 1974. hlm 24a
[14]Suryadinata, Leo,Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, hlm 247
[15] Bandoro, Bantarto,Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru , hlm 217
[16] Sihbudi, Riza,, Menyandera Timur Tengah, hlm 337
[17] Indonesian News and Views (Washington DC), Vol. 8, No. 3. Hlm 4-5
[18] Ibid
[19] Menyambut Arafat dengan Demo dan Qunut Nazilah; Tempo, 2 Oktober 1993, hlm 23
[20] Iran selalu membedakan antara Arafat dan Palestina. Wlaupun sekitar tahun 1980-an hubgungan Teheran-PLO memburuk, Iran masih mengizinkan dipertahankannya Kedutaan Besar Palestina di Teheran, Iran. Lihat Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, hlm 375
[21] Masykuri Abdillah, Kiprah Ulama dalam Kehidupan Masyarakat dan Negara Dewasa ini, dalam  Nanang Tahqiq (ed) Politik Islam,  Jakarta: Prenada Media, 2004. Cetakan Pertama. Hlm 190.
[22] Prayitno, Adi, Politik Akomodasi Islam; Percikan Pemikiran Politik Bahtiar Effendi,Jakarta: UIN Press, 2009. Cetakan 1, hlm 63
[23] Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, hlm 204
[24] Franklin Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence, Cornell University Press, Itrhaca, 1976. Hlm 126
[25] Gordon R. Hein, Soeharto’s Foreign Policy Second-Generation Nationalism in Indonesia” (tesis Ph.D , University of California di Berkeley, 1986. Hlm 245
[26] Leo, Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, hlm 204
[27] Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Penerbit Teraju, 2005. hlm 168-190
[28]  Prayitno, Adi, Politik Akomodasi Islam: Percikan, Pemikiran Politik Bahtiar Effendi, , hlm 65-66

- Copyright © AHMAD RIFA'I - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -