Posted by : Unknown Minggu, 14 April 2013




Meski umurnya kini telah mencapai tujuh abad, namun desain interior dan keindahannya seakan tak pernah mengenal kata pudar. Begitulah kira-kira kesan yang akan kita dapati saat mengunjungi Masjid Wapauwe. Letaknya berada di utara Pulau Ambon, tepatnya di Negeri (desa) Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

Berdasarkan catatan sejarah, Masjid Wapauwe dibangun pada masa kesultanan Islam Jailolo yang berdiri pada tahun 1322 Masehi. Kesultanan Jailolo merupakan kerajaan tertua di Maluku Utara yang pada akhir abad ke-17 tidak tercatat lagi secara administratif karena dianeksasi oleh Kesultanan Ternate dengan bantuan VOC.

Masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Maluku Tengah ini dibangun pada tahun 1414 Masehi. Pembangunannya dipimipin oleh Pernada Jamilu, salah seorang keturunan Kesultanan Islam Jailolo yang datang untuk menyebarkan agama Islam di tanah Hitu sekitar tahun 1400 M.

Pernada Jamilu membangun masjid ini dalam bentuk yang sederhana. Konstruksi masjid dibuat seperti bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 meter. Dindingnya dari gaba-gaba (pelepah sagu yang kering) dan atapnya memakai daun rumbia. Puncak menara dibuat dari kayu yang berbentuk silindris dengan alur-alur dan molding.

Di antara atap di atas dan atap yang di bawah dibuat lubang jendela yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Bagian paling bawah atapnya dibentuk menjorok keluar membentuk sebagian dari elips seperti daun. Di setiap ujungnya diberi ukiran bertuliskan kata ‘’Allah’’ dan ‘’Muhammad’’.

Bagian dalam masjid ini dibuat khas tradisional Jawa. Ditengahnya dibuat bangunan joglo atau saka guru dengan menggunakan kayu ukuran 22 x 22 cm persegi. Di atas saka guru dibuat atap piramida dengan kemiringan yang cukup tajam, lalu di ikuti di bawahnya dengan atap yang kemiringannya landai. Atapnya dibuat dari daun rumbia. Sedangkan untuk mimbarnya dibuat dari kayu dan dibentuk seperti kursi. Ukurannya cukup tinggi sehingga pada mimbar ditambahi anak tangga. Pada bagian atasnya dihiasi lengkungan dan ukiran kayu.

Salah satu keunikan yang dimiliki oleh masjid ini adalah hampir semua materialnya dibuat dengan bahan baku dari tumbuhan sagu, tanpa paku dan semen tidak seperti kebanyakan bangunan masjid di Indonesia.

Di dalam masjid ini tersimpan mushaf Al Quran yang diperkirakan menjadi mushaf tertua di Indonesia. Mushaf tersebut ditulis oleh Imam Muhammad Arikulapessy (imam pertama Masjid Wapauwe) dengan tanpa iluminasi. Juga terdapat Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada 1590 tanpa iluminasi dan ditulis tangan pada kertas Eropa. Mushaf kedua ini ditulis oleh cucu Imam Arikulapessy. Mushaf hasil kedua orang ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 dan 1995.

Karya Nur Cahya lain yang terdapat di masjid tersebut adalah Kitab Barzanzi, yaitu syair pujian kepada Rasulullah Saw; sekumpulan naskah khotbah seperti naskah khotbah Jumat pertama Ramadhan 1661, kalender Islam tahun 1407 M, dan manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.

Semua peninggalan sejarah tadi menjadi pusaka Marga Hatuwe yang tersimpan  di rumah pusaka Hatuwe, yang berjarak 50 meter dari Masjid Wapauwe. Rumah pusaka ini dijaga oleh keturunan ke-12 Imam Arikulapessy, Abdul Rachim Hatuwe.
Meskipun telah mengalami beberapa kali pemindahan dan perbaikan, arsitektur inti Masjid Wapauwe tetap dipertahankan, sehingga masjid ini menjadi situs sejarah paling penting di Pulau Maluku. Masjid yang sampai hari ini masih digunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari ini menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia.

Berpindah Secara Gaib
Mulanya Masjid Wapauwe bernama Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung Wawane sebagai media dakwah untuk mensyiarkan Islam di lima negeri di sekitar pegunungan Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly.
Namun kemudian masjid ini mengalami perpindahan tempat pada tahun 1614 Masehi ke Kampung Tehala yang berjarak 6 km sebelah timur Wawane. Perpindahannya sangat misterius, Masjid Wawane berpindah secara gaib.

Awal kejadian ketika masyarakat Tehala, Atetu dan Nukuhaly turun ke pesisir pantai dan bergabung menjadi negeri Kaitetu, Masjid Wawane masih berada di dataran Tehala. Namun pada suatu pagi, ketika masyarakat bangun dari tidurnya masjid secara gaib telah berada di tengah-tengah permukiman mereka di tanah Teon Samaiha, lengkap dengan segala kelengkapannya.

Tempat kedua masjid ini berada di suatu daratan dimana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini diganti namanya dengan sebutan Masjid Wapauwe, artinya masjid yang berdiri di bawah pohon mangga berabu. Namun anehnya, jika ada daun dari pepohonan tersebut gugur, tak satupun jatuh diatasnya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © AHMAD RIFA'I - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -