Posted by : Unknown Kamis, 25 April 2013

Dengan berjalannya waktu, hubungan Israel dengan negara-negara Arab tidak menunjukkan perbaikan, malah semakin memburuk. Ketegangan terus berlanjut di perbatasan, ditandai dengan infiltrasi, serangan, serangan balasan, dan kadang-kadang dengan skala militer sedang yang terorganisasi. Kesatuan-kesatuan komando khusus Mesir setengah sukarelawan, yang disebut fedayin, melakukan penyerbuan, beberapa dari mereka memasuki wilayah pedalaman Israel. Pemboikotan ekonomi Arab atas Israel terus berlangsung. Pemerintah Arab menolak setiap gagasan perdamaian karena tidak sesuai dengan yang diinginkan negara-negara Arab; dan gagasan perdamaian yang diusulkan pihak Israel dan AS cenderung menguntungkan Israel dan substansi masalahnya tidak disinggung.
Selanjutnya Mesir pada Juli 1956, mengumumkan nasionalisasi Perusahaan Terusan Suez,[1] yang ketika itu saham-sahamnya dikuasai Inggris dan Perancis. Dan Mesir meneguhkan penolakannya membuka Terusan Suez bagi pelayaran Israel dan merintangi jalan masuk Israel menuju Teluk Aqaba dari Laut Merah; politik Mesir ini lebih keras dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya. Mesir diperkuat  tambahan persenjataan modern dari Uni Soviet.[2]  Tiga bulan kemudian, Inggris dan Prancis menyerang Mesir. Israel, yang memang sedang berperang dengan Mesir dan yang kapal-kapalnya dilarang memasuki Terusan Suez, melanggar perjanjian genjatan senjata; dan bergabung dengan Inggris dan Prancis menyerang Mesir. Ketiga negara ini berhasil menduduki Semenanjung Sinai dan sebagian zona Terusan Suez. Perserikatan Bangsa-bangsa campur tangan dan tentara Inggris, Prancis, dan Israel ditarik dari Sinai. Tentara penjaga perdamaian PBB ditempatkan di sepanjang garis demarkasi antara Mesir-Israel di Sinai.[3]
Dalam perang Suez ini, militer Israel  yang dibantu Inggris dan Prancis memperoleh kemenangan gemilang. Mereka hanya kehilangan 171 tentara tewas, dan 4 ditawan musuh, sedangkan Israel berhasil menawan 6.000 tentara Mesir. Namun Israel tidak berhasil membuka Terusan Suez bagi pelayarannya. Pada 19 Mei 1967,  tentara perdamaian PBB di Sinai ditarik atas permintaan Mesir. Ketika itulah Gamal Abdel Nasser memerintah untuk mengkonsentrasikan pasukan Mesir di Sinai.[4]
Pada 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan sejak 23 Mei 1967, Selat Tiran ditutup untuk semua kapal pengibar bendera Israel dan kapal-kapal pengangkut kebutuhan pemerintah Rezim Zionis itu, Nasser menyatakan “Jangan biarkan bendera Israel berkibar melalui teluk Aqaba dengan alasan apapun.” Dan Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan laut Tengah.[5]
Israel kebingungan saat Mesir menutup Selat Tiran dan menyatakan bahwa Mesir melanggar hukum Internasional. Tetapi sebagian negara Arab sudah mulai secara tidak langsung menerima keberadaan Israel. Alasannya adalah Konvensi PBB tentang peraturan laut, terutama pasal 16 (ayat 4) yang menyebutkan Israel berhak menggunakan Selat Tiran.[6] Majelis Umum PBB dengan getol mengemukakan bahwa hukum internasional memberikan hak Israel untuk menggunakan Selat Tiran, hal ini sangat bertolak belakang dengan sikap Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB hanya diam dan “tutup mata” ketika sejak awal berdirinya, Israel mengusir dan membantai secara massal bangsa Palestina, Dan  PBB juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika Israel membumihanguskan dan mencaplok Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan dan meluluhlantakkan pemukiman pengungsi Palestina di Es Samu.[7]  
PBB akhirnya menyampaikan ancaman Israel menyerang Mesir, jika blokade Selat Tiran tidak dibuka kembali. Kemudian Israel mengultimatum Mesir apabila Selat Tiran tidak dibuka sampai 25 Mei 1967, Israel akan menyerang.  Akhirnya pada 5 Juni 1967 Israel betul-betul menyerang Mesir selama 6 hari. Angkatan Udara Israel melancarkan serangan udara terhadap pasukan udara Mesir, dari sebelah selatan wilayah Aswan sampai wilayah utara Iskandaria dan dari Mursa Mathrukh (Barat) sampai Sinai (Timur) dan israel berhasil melumpuhkan pasukan udara Mesir dan berhasil menguasai wilayah udara Jazirah Arab. Inilah yangt mendorong progresifitas angkatan darat Israel untuk terus bergerak menuju Sinai, Golan dan Tepi Barat. Di sinilah tentara Arab melakukan pertempuran sengit melawan tentara israel yang didukung oleh kekuatan udara yang telah menguasai wilayah Mesir dan Suriah. Namun pada akhirnya tentara Mesir tidak berhasil memukul mundur tentara Israel dari wilayah Sinai.[8]   
Pada 10 Juni 1967 M, kontak senjata antara dua belah pihak berhenti berdasarkan ketetapan Dewan Keamanan PBB yaitu direalisasikannya penghentian perang antara Arab dan Israel,[9] Perang telah berakhir dan Israel telah berhasil menguasai Sinai (Mesir), Golan (Suriah), dan Tepi Barat (Palestina). Kemenangan Militer ada di tangan Israel, sehingga ia lebih mempermudah perluasan wilayah kekuasaannya. Perang ini terkenal dengan sebutan “Perang Enam Hari”[10] Dan tidak seperti krisis Suez 1956, ketika tantangan dari Washington berhasil memaksa Israel untuk menarik diri dari wilayah yang telah direbutnya, para pejabat Israel kali ini bersikap hati-hati sekali dalam menanamkan pengertian kepada para pejabat AS tentang posisi mereka.[11] Akibatnya Israel tidak mendapatkan tekanan dari AS  untuk menyerahkan hasil-hasil yang telah dicapainya.[12]
Dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Keamanan PBB pada 22 November 1967 yang menentukan “tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang” dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua inisiatif perdamaian—tanah bagi perdamaian. Melalui Resolusi ini Israel harus mengembalikan wilayah-wilayah pendudukan melalui perang 1967, akan tetapi tidak dipatuhinya . Kecaman-kecaman terhadap Israel datang dari negara-negara seluruh dunia, termasuk negara-negara Eropa, Afrika, Asia-hampir semuanya kecuali Amerika Serikat.[13] 
 Kejayaan Nasser sebagai pemimpin Dunia Arab terpukul sekali oleh kekalahan Mesir dalam Perang “Enam Hari  (1967) dengan Israel. Apapun yang dijadikan alasan atas kekalahan itu, kepemimpinan Nasser atas dunia Arab merosot. Sebagai tanggung jawab atas kekalahan tersebut Nasser menyatakan pengunduran dirinya sebagai kepala negaranya. Akan tetapi ia segera terpilih kembali melalui suatu referendum. Sesudah pengangkatannya kembali melalui sebagai Presiden. Nasser masih terus disibukkan berbagai sengketa antar-Arab, satu diantaranya yang terakhir ialah peristiwa September Hitam di Yordan (September 1970). Nasser mendapat serangan jantung dan meninggal pada 28 September 1970 di tengah kesibukannya mengusahakan penyelesaian sengketa antara PLO dengan raja Hussein (Yordan).[14]
Sepeninggal Abdel Nasser, Anwar sadat yang juga wakil presiden saat itu diangkat dan dilantik menjadi Presiden Mesir kedua pada 15 Oktober 1970. Berbagai langkah kebijakan yang berbeda denga ketika  Nasser yaitu melalui liberalisme sistem, membolehkan berdirinya partai politik, menghapuskan sensor terhadap pers, menerapkan kebijaksaan pintu terbuka “open door policy” ((infitah), mendorong investasi asing dan pembangunan sektor usaha. Sedangkan dalam kaitannya dengan konflik, Sadat secara terbuka dan berulangkali meminta penarikan mundur Israel, namun tidak ada pejabat tinggi Israel dan Amerika Serikat yang menaruh perhatian pada permohonan tersebut. Dalam kata-kata sadat, “Kami hanya tidak bisa membiarkan situasi berlanjut seperti sebelum Oktober-tidak ada perdamaian, tidak ada perang. Kedua adidaya membekukan pertikaian Timur Tengah dan menyimpannya di dalam kulkas. Orang-orang Amerika melihat kami sebagai mayat beku sejak perang enam hari 1967. Ini lebih buruk daripada perang, sehingga terjadilah Perang 1973 yang mengakibatkan sebagian wilayah yang direbut Israel dikuasai Mesir kembali.[15]
Kemenangan Presiden Sadat dalam peperangan ini antara lain berhasilnya Mesir menyeberangi Terusan Suez dan menghancurkan benteng pertahanan Israel (Ar Lev Line) di Tepi Timur. Dan secara bersamaan Suriah juga berhasilk menekan pasukan Israel melalui Dataran Tinggi Golan. Namun demikian Mesir tidak dapat mempertahankan kemenangan awalnya karena pada 20 )ktober 1973 pasukan Israel berhasil mengepung pasukan tentara Mesir di Tepi Barat Terusan. Peperangan yang telah menewaskan 2500 orang tentara Israel dan 9000 orang tentara Mesir ini, akhirnya dapat diakhiri setelah kedua negara atas sponsor PBB 22 November 1973 menyetujui untuk melakukan genjatan senjata. Pada peperangan ini Mesir merasa puas dengan keberhasilannya setelah kecewa dengan kekalahannya oleh israel pada 1967. Untuk pertama kalinya juga dunia Arab bersatu dalam bertindak sehingga negara super power tidak berfungsi, Eropa Barat bingung, Israel tertekan dan senjata minyak Arab sangat ampuh.[16]
Walaupun tidak memberikan kemenangan yang mutlak bagi Mesir, namun dengan berakhirnya perang ini, Mesir berhasil menarik perhatian dunia internasional dan AS tentang kebuntuan perdamaian Israel-Arab yang telah berlangsung lama. Di samping itu Mesir berhasil pula menghancurkan kondisi no war-no peace dengan Israel. Dengan perang ini tujuan sadat untuk menarik kembali perhatian AS ke dalam masalah sengketa Arab-Israel terwujud.
Fenomena ketidakmampuan dunia Arab dalam mengimbangi kekuatan militer Israel merupakan awal kekalahan Arab dalam kancah politik dunia. Perlakuan impresif bangsa Israel terhadap dunia Arab membuat dunia Arab seakan tidak berdaya. Berbagai upaya perlawanan dilakukan muslim Palestina, namun itu kemudian dipropagandakan oleh pihak Israel sebagai bentuk permusuhan dan pertumpahan darah, dan pihak Israel menjadi korban permusuhan dan terorisme yang dilakukan oleh bangsa Palestina.[17] Upaya yang dilakukan dunia Arab kemudian adalah mengadukan segala perlakuan Israel kepada PBB yang diharapkan bisa memberikan solusi terhadap perlakuan Israel terhadap dunia Arab. Lagi-lagi PBB tidak memberikan solusi seperti yang diharapkan oleh dunia Arab. PBB tidak bisa memberikan pembelaan terhadap dunia Arab karena PBB sendiri tidak bisa luput inrvensi negara-negara besar yang menjadi dewan keamanan PBB yang cenderung memihak terhadap Yahudi. Kekalahan politik Arab ini menyebabkan hilangnya kewibaan Arab di dalam kancah politik dunia.
Sebagai hasil dari kegagalan militer dan politik Arab dalam berinteraksi dengan kekuatan Yahudi modern, dan serangan-serangan psikologis yang tidak bisa dibendung oleh umat Islam secara umum dan dunia Arab secara khusus, maka satu-satunya solusi yang bisa ditempuh oleh dunia Arab adalah solusi politik damai.[18] Namun inti dari perdamaian yang ditawarkan oleh Israel adalah dunia arab Islam membiarkan orang-orang Yahudi menguasai sebagian besar wilayahnya dan mengakuinya secara sah dalam pandangan hukum internasional. Dan inilah yang menjadi kontroversi diantara negara-negara Arab.[19]


[1] Nasionalisasi Terusan Suez merupakan reaksi perlawanan Nasser terhadap pembatalan bantuan Amerika Serikat, Inggris dan Bank Dunia untuk proyek besar pembangunan bendungan Aswan. Nasionalisasi ini menyebabkan aksi militer yang dilakukan Inggris, Perancis, dan Israel. Selama Oktober hingga Desember 1956, disebut Perang Suez di Barat atau Agresi Tripartit di Timur Tengah. Proyek pembangunan Aswan dibangun secara bertahap 1960-1970 dengan batuan dana Rusia (USSR). Pembangunan bendungan bertujuan untuk penambahan lahan pertanian dari cadangan listrik. Lihat Ibrahim Abdel Wahab Elsheikh, 97-98. Lihat juga PJ. Vatiko, 391-392
[2] Lenczowski, George, Op-Cit, hlm270
[3] Toni S Rachmadi; Negara Dan Bangsa Jilid l,  Jakarta: PT Intermata, 1989. Edisi l, hlm 118
[4]Anwar M. Aris, Jejak-jejak Juang Palestina hlm 62
[5] Ibid, hlm 63
[6] Anwar M. Aris, Jejak-jejak Juang Palestina, hlm 63
[7] Ibid
[8] Mulawarman Hannase, Ideologi Yahudi tentang Yerusalem dan Gerakan Politiknya, hlm 188
[9] Masiri, al, Abd al-Wahab , al-Sira al-Arabi al-Israili, 16
[10] Mulawarman Hannase, Ideologi Yahudi tentang Yerusalem dan Gerakan Politiknya, hlm 189
[11] Andrew Cockburn and Leslie: Dangerous Liaison’ The Inside Story of the US, Israeli Covert Relationship, New York: Harper Collins, 1991. Hlm 145
[12] Mulawarman Hannase , Ideologi Yahudi tentang Yerusalem dan Gerakan Politiknya, hlm 189
[13] Faul Findley,  Diplomasi Munafi Ala Yahudi, hlm 93
[14] Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, Jakarta: Penerbit Mizan, 2007. Cetakan l, hlm 156
[15] Alvin. Z. Rubinstein, Red Star on the Nile: The Soviet Egyption Influence Relationship Since the June War, Princeton: Princeton University Press, 1977, hlm 22-23
[16] Muhamad Heikal, Anwar sadat: Kemarau Kemarahan (diterjemahkan dari “Autumn of Fury” oleh Arwah Setiawan(, Jakarta: Grafiti Pers, 1994, hlm 45
[17] Hannase, Mulawarman, Ideologi Yahudi Tentang Yerusalem Dan Gerakan Politiknya, MASEIFA Jendela Ilmu, Kudus, 2011, Cetakan Pertama, hlm 187
[18] Sebenarnya proyek perdamaian antara Arab dan Israel jumlahnya banyak. Lihat dalam Mulawarman Hannse, hlm 191
[19] Adel Safty, How the Zionist Took Over Palestine, hlm 52

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © AHMAD RIFA'I - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -