Posted by : Unknown Kamis, 25 April 2013



Mesir walaupun kalah dalam perang 1967 tapi menang di mata internasional dan mampu membungkam kepongahan Israel yang mengklaim bawa negara Zionis itu menang dalam Perang Enam Hari pada 1967. Ketika tentara Israel lari tunggang langgang dari Port Said, penduduk Mesir berpawai besar-besaran memasuki kota yang sebelumnya dicaplok Israel. Di Semenanjung Sinai, tentara Israel terbirit-birit meninggalkan markas militer yang baru mereka bangun.[2] Adapun posisi Palestina setelah perang Yom Kippur 1973 semakin dikaburkan oleh PBB dan AS. Apalagi ketika Yordania, tempat sebagian besar pengungsi Palestina tinggal, bersikap netral bahkan berpihak pada Israel. Rupanya Yordania jera karena Perang Enam Hari 1967, kehilangan Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Akhirnya PLO pindah ke Lebanon dan Tunisia.[3]
Melalui perang terbuka itu nama Sadat mencuat sebagai tokoh dalam percaturan politik internasional. Perang itu juga merupakan peristiwa yang menggerakkan babak baru dalam sengketa Arab-Israel, yaitu dengan diambilnya keputusan dalam pertemuan antar-Arab di Kuwait untuk menggunakan minyak sebagai senjata, yang dampaknya meluas sampai negara-negara Eropa. Dengan perang ini Sadat berhasil mendobrak situasi ‘no war, no peace’; yang stagnan dan menggugah kembali perhatian dunia internasional agar terlibat dalam usaha penyelesaian sengketa Arab-Israel, dengan masalah Palestina yang merupakan intinya.[1]
Sadat sendiri sejak semula berpendapat, peran utama yang menyelesaikan sengketa Arab-Israel harus diambil AS, mengingat keberpihakan AS  yang nyaris tanpa reserve dan sewaktu-waktu siap  memberikan dukungan militer pada Israel. Perang Oktober pun dijadikan bukti oleh Sadat, betapa cepat AS memasok persenjataan mutakhir bagi Israel. Maka sadat lebih cenderung mendorong AS lebih aktif berperanserta, tetapi keterlibatan AS dan Uni Soviet seringkali justru mempersulit usaha penyelesaian masalah sengketa Arab Israel, karena kedua kekuatan tersebut punya kepentingan masing-masing untuk mempertahankan pengaruhnya di wilayah Timur Tengah. Maka Sadatpun lebih cenderung menerima dilakukannya shuttle diplomacy oleh Henry Kissinger sebagai usaha perintisan jalan menuju terselenggaranya perundingan perdamaian.[4]
Sikap dunia Arab dalam merespon proyek perdamaian yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak menuai kontroversi. Pada awalnya, sebelum merasakan kegagalan dalam bidang militer dan politik, dunia Arab tidak mau menempuh jalur politik damai. Inti yang ditawarkan perdamaian oleh Israel adalah dunia Arab Islam membiarkan orang-orang Yahudi menguasai sebagian besar wilayah dan mengakui secara sah dalam pandangan hukum internasional. Inilah yang menjadi kontroversi di dunia Arab.
Ditengah berlarutnya sengketa Arab-Israel dan tidak adanya kemungkinan penyelesaian melalui jalan perundingan, Sadat mengejutkan dunia khususnya Arab-Israel dengan mengumukan niatnya berkunjung ke Jerusalem (November 1977) guna merintis usaha perdamaian melalui perundingan langsung dengan Israel. Tindakan Sadat yang dikualifikasikannya sebagai ‘prakarsa  perdamaian’ (peace initiative) terjadi di luar perkiraan dunia internasional, apalagi dunia Arab; bahkan mengejutkan beberapa pembantunya terdekat, termasuk Menteri Luar Negeri, Ismael Fahmi, yang kemudian mengundurkan diri. Tindakan Sadat melakukan perubahan politik  ini merupakan jalan keluar dari keadaan negara yang belum stabil baik secara ekonomi, politik ataupun keamanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rustow bahwa:
“perubahan politk suatu negara adalah hasil dari ketidak puasan keadaan yang berlaku. Ketidakpuasaan ini mengakibatkan tindakan politik; bahkan tindakan politik adalah selalu merupakan hasil ketidak puasan[5].
Tekad Sadat mencapai perdamaian melalui meja perundingan ini  kemudian membuka kesempatan bagi Presiden AS Jimmy Carter untuk mengambil prakarsa diselenggarakannya pertemuan puncak segitiga Carter-Sadat-Begin di Camp David, yang berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Camp David (17 September 1978).
 Persetujuan Camp David, yang ditandatangani Sadat dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begim, di bawah kesaksian Presiden Amerika, Jimmy Carter pada 17 Oktober 1978.[6] Dalam Perjanjian ini disepakati bahwa Israel  akan mengundurkan diri sampai ke perbatasan internasional dan seluruh daerah Sinai menjadi daerah demilitarisasi dan diserahkan kepada Mesir. Di sisi lain  Mesir mengakui hak Israel untuk hidup; dan Israel setuju untuk menarik tentaranya dari  Sinai dan merundingkan pemerintahan sendiri bagi bangsa Palestina di Gaza dan tepi barat Sungai Yordan.[7] Bukan hanya itu saja, Israel menerima perjanjian damai dengan Mesir hanya setelah Mesir dan Amerika Serikat secara mendasar setuju untuk mengabaikan bangsa Palestina dan Amerika Serikat menjanjikan Israel sampai $ 3 milyar dalam bentuk bantuan ekstra di luar jumlah tahunan yang diterimanya sekitar $ 2 milyar serta sejumlah besar peralatan militer tambahan untuk modernisasi pesawat-pesawat perang F-16 yang terbaru dari angkatan udara Amerika.[8]
Perdamaian Sadat dengan Israel mengundang perlawanan sengit negara-negara Arab baik dari dalam negeri Mesir itu sendiri maupun dari negara-negara Arab, terutama Yordania, Syria, Iraq dan Lebanon, yang tidak menerima yang mereka sebut “perdamaian terpisah”[9] itu dengan Israel. Perlawanan negara-negara Arab mencapai puncak dalam Konferensi Baghdad pada 2-5 November 1978. Konferensi ini membuat isolasi Mesir dari negara-negara Arab.[10] Hal ini sudah diperhitungkan Sadat sebelumnya, namun Sadat berkeyakinan bahwa negara-negara tersebut tidak bisa terlalu lama menjauhi Mesir.  Sadat sangat sadar bahwa Mesir  tergolong negara Arab yang berperan penting sebagai salah satu aktor  politik berpengaruh terhadap perkembangan situasi di Timur Tenga khususnya yang berkaitan dengan usaha penyelesaian sengketa Arab-Israel [11]
Namun setelah itu sikap keras negara-negara Arab terus menurun. Konferensi puncak Arab di Fez-Maroko tahun 1982, untuk pertama kali mengeluarkan keputusan yang secara implisit menerima eksistensi negara Israel dan Resolusi PBB No. 242. Puncak dari kelenturan sikap Arab adalah kesediaannya hadir pada konferensi perdamaian Timur Tengah di kota Madrid-Spanyol tahun 1991 dengan sepakat menjadikan resolusi PBB No. 242 sebagai rujukan. Oleh sebab itu pula, kedua belah pihak Arab dan Israel sudah tidak mungkin lagi kembali ke resolusi PBB No. 181. Pihak-pihak yang bersengketa di Timur Tengah bersepakat menjadikan Resolusi No. 242 sebagai kerangka penyelesaian konflik PLO-Israel. Namun kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak pernah dilaksanakan Israel yang akhirnya muncul aksi intifadah.[12]
Setahun kemudian Menachem Begin,  Presiden Mesir Anwar Sadat dan Jimmy Carter  mendapatkan penghargaan Nobel untuk perdamaian. Tetapi akibat perdamaian ini, Anwar Sadat mendapat tekanan dalam negeri, khususnya dari kelompok fundamentalis Islam dan para pelajar Mesir yang menyebabkan Anwar Sadat mengambil tindakan represif terhadap kelompok ini. Tindakan represif yang dilakukan terlalu berlebihan dan oleh banyak kalangan dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Setelah itu popularitas Anwar Sadat kian menurun, dan banyak kalangan gerakan Islam garis keras mengkampanyekan kebencian kepadanya. Pada 6 Oktober 1981, Anwar Sadat terbunuh oleh kelompok radikal dalam parade militer pada ulang tahun ke-8 Perang Yom Kippur.


[1] Musthafa Abd. Rahman, Dilema Israel Antara Krisis Politik dan Perdamaian, Jakarta: Penerbit Buku Jkompas, 2002. Hlm 5
[2] Anwar M. Aris, Jejak-jejak Juang Palestina , hlm 102
[3]R. Hrair  Dekmejian, Islam in Revolution, Syracuse University Press, 1985. Hlm 85
[4] J.J.G, Jansen, The Dual Nature of Islamia Fundamentalisme; London: Hurst & Company, 1997, hlm 161
[5] Sudarsono, Juwono, Pembangunan Politik Dan Perubahan Politik, Penerbit, PT. Gramedia, Jakarta, 1976. Cetakan Pertama, hlm 149
[6] Mark Tessler, “The Camp David Accords and Palestinian Problem”, dalam Ann Mosely Lesch and Mark Tessler, (eds), Israel, Egypt and the Palestinians; from Camp David to Intifada (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 19890 hlm 3
[7] Tahqiq, Nanang (editor), Op-Cit, hlm 269
[8] Kementerian Luar Negeri AS, American Foregn Policy 1977-1980, hlm 667
[9] Mark Tessler dan Ann Mosely Lesch, “Israeli’s drive into the West Bank and Gaza”, Ann Mosely Lesch dan Mark Tesslewr (ed), Israel, 211
[10] Tahqiq, Nanang (ed.), Op-Cit, hlm 270
[11]Rahman, Musthafa, Jejak-jejak Juang Palestina, hlm174 
[12] Ibid

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © AHMAD RIFA'I - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -