Posted by : Unknown Kamis, 25 April 2013



Dalam perwujudan operasionalnya, politik luar negeri suatu negara senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Penyesuaian itu bagi Indonesia berarti aktif berperan dalam mengusahakan agar perubahan dan perkembangan itu mengarah kepada terwujudnya dunia yang lebih damai, lebih adil dan lebih sejahtera menuju sasaran-sasaran kepentingan nasaional  kita. Karena itu, diplomasi Indonesia merupakan suatu upaya besar untuk menghimpun berbagai unsur kekuatan nasional secara maksimal guna memajukan kepentingan nasional secara langsung.
Politik luar negeri suatu negara bangsa biasanya didasarkan atas landasan-landasan tertentu yang pada hakikatnya merupakan kemudi dalam pelaksanaannya. Bagi Indonesia, Pancasila merupakan landasan idiil politik luar negeri; dan politik luar negeri Indonesia umumnya selalu didasarkan kepada ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasa 1945. Ini dimaksudkan agar landasan falsafah, haluannya, strateginya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan konstitusional yang telah digariskan; betapapun situasi dunia berubah.[1]
Dilihat dari sudut UUD 1945 dan GBHN, mewajibkan Indonesia ikut serta menyelesaikan persoalan-persoalan dunia secara damai. Penyelesaian Timur Tengah seperti perang Israel-Palestina secara tidak langsung juga menyangkut kepentingan Indonesia, antara lain bahwa Indonesia dan Timur Tengah sama-sama anggota gerakan Non-Blok, OKI, OPEC. Dan dalam sejarah,  negara-negara Timur Tengah tergolong pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia mendukung ketika pada  5 November 1956 dinyatakan bahwa PBB akan membentuk pasukan untuk memelihara keamanan dan mengawasi penghentian tindakan permusuhan di Timur Tengah (Terusan Suez).[2]
Dalam kesempatan itu, Indonesia untuk pertama kalinya ikut ambil bagian dalam misi Pasukan Pemeliharaan Perdamaian PBB (UNEF) untuk Timur Tengah dengan mengirimkan Pasukan Garuda 1. Partisipasi dalam UNEF ini merupakan sumbangan bangsa Indonesia sebagai solidaritas dengan negara-negara Timur Tengah khususnya dan Asia-Afrika umumnya. Sebaliknya, negara-negara Timur Tengah dan Afrika juga memberikan dukungan besar mereka kepada perjuangan Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat. Kenyataan ini bukan hanya semakin meningkatkan dan memperkokoh solidaritas di antara mereka, tetapi juga memperlihatkan timbal balik yang saling menguntungkan.[3]
Indonesia juga mendukung Resolusi Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 194 tentang isu Palestina. Resolusi ini dikeluarkan pada 11 Desember 1948 yang berbunyi: Majelis Umum menegaskan bahwa harus diizinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali  ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangganya, dan demikian juga harus mendapat ganti rugi dari harta benda yang ditinggalkan, dan mendapat ganti rugi dari kerugian atau kerusakan harta benda sesuai dengan hukum internasional dan standar keadilan bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi.[4]
Resolusi ini mempunyai dampak positif sangat besar bagi orang-orang Palestina yang meninggalkan kampung halamannya pada saat itu karena keadaan sangat darurat; berbahaya apabila tidak keluar dari kampungnya. Oleh karena itu Indonesia sangat setuju atas dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBB yang memberikan hak-haknya atas rakyat Palestina.
Pergantian pemerintahan dari Orde lama ke Orde baru di bawah Soeharto  1965 cenderung semakin memperburuk hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur-Tengah. Hal ini terlihat dari respon dan sikap Indonesia dalam masalah konflik Arab - Israel[5]. Bila dalam masalah Terusan Suez  pada 1956, Indonesia dengan tegas berpihak pada negara-negara Arab, dalam perang Arab-Israel 1967 Indonesia memperlihatkan sikap kurang tegas. Hal ini menimbulkan prasangka negara-negara Arab, bahwa posisi Indonesia sejak perang 1967 lebih banyak menguntungkan Israel daripada negara-negara Arab.[6] Sikap Indonesia yang demikian itu berlangsung selama kurang lebih 12 tahun menimbulkan kecurigaan negara-negara arab terhadap Indonesia.
Kenyataan itu sebenarnya dapat digunakan dasar untuk menilai hubungan Indonesia dengan negara-negara Arab Timur Tengah. Memang bagi sementara negara-negara Timur Tengah  yang radikal misalnya Irak, Suriah dan Libya, sikap Indonesia yang tidak tegas mendukung perjuangan negara-negara Arab menghadapi Israel jelas kurang menguntungkan mereka. Tetapi sebaliknya bagi Mesir, Arab Saudi, Kuwait dan Emirat Arab yang moderat, sikap seperti itu mungkin dapat diterima  mereka.[7]
Dengan sikap Indonesia yang moderat, dukungan Indonesia kepada negara-negara Arab memang tidak sebesar periode sebelumnya pada masa Presiden Soekarno. Padahal sikap Indonesia yang tetap berpihak pada perjuangan negara-negara Arab sangat dibutuhkan negara-negara di Timur Tengah. Mereka bahkan sangat mengharapkan partisipasi Indonesia. Demikian pula mereka membutuhkan dukungan Indonesia terhadap kegiatan-kegiatan konfrensi Para Menteri Luar Negeri negara-negara Islam.
Sikap Indonesia pada saat itu dilandasi oleh realisme dan pragmatisme. Hal ini kemungkinan besar merupakan faktor penyebab kecurigaan negara-negara Arab tersebut. Kepentingan nasional Indonesia tertinggi pada masa itu ialah pembangunan nasional yang dititikberatkan pada bidang ekonomi guna  memperoleh ketahanan nasional yang optimal. Sehingga pragmatisme menghendaki politik luar negeri yang ditujukan untuk menjajagi dan meletakkan hubungan-hubungan yang dapat membantu Indonesia dalam menyukseskan strategi pembangunan nasional  .Misalnya penjadwalan hutang luar negeri yang kian menumpuk; memperoleh akses ke sumber-sumber bantuan ekonomi, investasi modal, dan alih tehnologi. Semuanya ini pada umumnya didiidentifikasikan dengan hubungan ekonomi, perdagangan Indonesia dengan negara-negara Barat yang cenderung berlebihan. Akhirnya Indonesia dihadapkan pada dilema antara kepentingan nasional yang harus diprioritaskan dan meningkatkan hubungan diplomasi lebih erat dengan negara-negara Timur Tengah.[8]
Pada awalnya pemerintah Orde Baru yang didukung  kelompok Abangan[9], sekuler, dan non Muslim sering membuat kebijakan-kebijakan bersifat restriktif pada Islam yang berakibat mengendurnya hubungan Indonesia dengan Timur Tengah. Di samping itu, tidak dapat disangkal tindakan restriktif tersebut mengakibatkan berkurang peran agama dan ulama dalam kehidupan nasional dan internasional. Pemerintah mendukung aktifitas agama dalam bentuk ibadah dan tidak dimanifestasikan sebagai kekuatan politik.[10] Kebijakan mengontrol ketat  setiap kegiatan  masyarakat dalam   melaksanakan pembangunan  sehingga negara /penguasa semakin berkuasa daripada masyarakat. Hal ini berdampak negatif  pada umat Islam yang merupakan pemeluk agama mayoritas. Tetapi sejak akhir 1980-an Presiden Soeharto menjadi lebih jinak, bersahabat, dan akrab dengan Islam.[11] Kedudukan “Islam budaya” (Cultural Islam) menguat di dalam negeri Indonesia. Sedangkan politik luar negeri Indonesia meskipun masih tidak berdasarkan Islam, tetapi hubungan dengan negara-negara Muslim menjadi kembali lebih dekat daripada masa-masa lampau.[12]
Pihak Departemen Luar Negeri Indonesia sendiri menyatakan, dukungan Indonesia terhadap negara-negara Arab menentang Israel didasarkan pada prinsip keadilan, yang juga merupakan prinsip “politik luar negeri Indonesia”[13] Faktor kesamaan agama hanya tambahan saja.[14] Begitu juga dukungan Indonesia terhadap penggunaan minyak sebagai alat politik luar negeri negara-negara Arab dibarengi dengan harapan bahwa perseteruan harus dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Selanjutnya,  pemakaian minyak sebagai senjata untuk jangka pendek akan merugikan AS, Jepang dan Eropa, walau dapat membantu perjuangan negara-negara Arab.
 Pada masa Soeharto, hubungan Indonesia yang lebih menitik beratkan pada kawasan Asia Tenggara dan condong ke Barat yang mempengaruhi tingkat keeratan hubungan itu. Misalnya Indonesia tidak menunjukkan sikap yang kongkrit setelah perang Arab-Israel 1973, ketika negara-negara Arab anggota OPEC melakukan embargo minyak terhadap negara industri pada 1973-1974. Oleh karena itu, mayoritas negara-negara Arab Timur Tengah menentang posisi Indonesia dalam kasus Timor-Timur di PBB pada 1976. Hal ini tampaknya disadari kedua pihak yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menata kembali hubungan tersebut dan berupaya menghilangkan berbagai kendala atau hambatan. Hal ini ditandai dengan kunjungan Presiden Soeharto ke Timur Tengah pada 1977.[15]
Indonesia menyadari pentingnya  kebijakan politik luar negeri untuk melaksanakan pembangunan yang memerlukan kondisi stabil, aman dan damai, bukan hanya di dalam negeri, sekitar wilayah Indonesia bahkan ke wilayah-wilayah yang lebih jauh lagi diantaranya dengan Timur Tengah. Karena itu, pada  Oktober 1977 Presiden Soeharto berkunjung ke beberapa negara Arab di Timur Tengah antara lain: Mesir, Arab Saudi, Kuwait, Suriah, Bahrain, Qatar dan Uni Emirat Arab untuk menjalin hubungan yang lebih erat baik dalam bidang ekonomi, politik dan lain sebagainya.  
Keterkaitan antara perjuangan bangsa Palestina dan masalah pembukaan hubungan diplomatik RI-Israel, menjadi dua hal yang sulit dipisahkan dalam kerangka pelaksanaan kebijakan RI. Paling tidak ini tercermin dari pernyataan dari seorang pejabat tinggi Deplu RI, hubungan bilateral RI-Israel baru dapat dijalin setelah tercapainya perdamaian menyeluruh di Timur-Tengah.[16]
Sedangkan terhadap Organisasi Pembebasan Palestina, Presiden Soeharto pada  30 Nopember 1987 membuat pernyataan tegas mendukung sepenuhnya rakyat Palestina dalam perjuangan mereka mempertahankan hak-hak mereka yang tidak bisa dihilangkan. Presiden Soeharto menyatakan;  “sebagai suatu bangsa, yang bangga akan warisan perjuangan melawan pendudukan kolonial demi kemerdekaan nasional, kita bangsa Indonesia selalu memandang perjuangan Palestina sebagai suatu perkara suci, seperti perjuangan kita sebagai bagian dari gerakan global yang tidak dapat diingkari melawan kekuatan kolonial dan dominasi asing[17]. Ia juga menyatakan; konflik di Timur Tengah hanya dapat diselesaikan jika rakyat Palestina diberi kemerdekaan atas negaranya dan Israel meninggalkan tanpa syarat seluruh wilayah  yang diduduki, termasuk Jerusalem[18]. Islam secara jelas tidak muncul dalam pernyataannya. Arafat sendiri juga menyatakan pada Tempo dalam wawancaranya ia tidak ingin mendirikan negara Islam Palestina, tetapi suatu negara demokrasi yang dapat melindungi seluruh agama.[19][20]
Memang benar, Islam bukan pertimbangan utama dalam politik luar negeri Soeharto; hal ini merupakan konsekuensi logis dari negara nasional Indonesia yang tidak menjadikan agama sebagai dasar negara; ditambah lagi  kebijakan “depolitisasi Islam” yang dianut pemerintah Orde Baru, sehingga legitimasi agama hanya diperlukan untuk hal-hal mendasar saja.[21].
 Pemerintah mendukung aktivitas agama berbentuk ibadah dan tidak dimanifestasikan sebagai kekuatan politik.[22] Pendirian kantor Organisasi Pembebasan  Palestina (PLO) dapat dipakai sebagai suatu contoh. Di tahun 1974, Adam Malik tidak keberatan atas pembukaan sebuah kantor di Jakarta untuk PLO meskipun ini bukanlah permintaan resmi sebagai perwakilan.[23] Di tahun berikutnya, Adam Malik sekali lagi menyatakan, pada dasarnya Indonesia setuju pada ide dari misi PLO jika itu dibentuk sesuai dengan “norma-norma yang sudah lazim”.[24]  Tetapi rencana Adam Malik itu diveto  militer dan persoalan kantor PLO dikesampingkan.[25] Kelihatannya militer sangat khawatir mengenai aktifitas terorisme yang dilakukan PLO dan Muslim radikal di Indonesia. Selain itu, militer juga khawatir kaitan PLO dengan negara-negara Komunis yang mungkin menimbulkan ancaman keamanan. Lagi pula, terdapat pergulatan internal di dalam tubuh PLO yang dapat terbawa ke Indonesia.[26]
Setidaknya ada tiga pola hubungan terjadi antara Orde Baru dan Islam yang berkuasa selama 32 tahun. Pertama, pada 70-an hubungan Islam dan Orde baru bersifat konfrontatif, rivalitas atau antagonis. Pada waktu itu, hubungan Islam dan negara tampak renggang, bertolak belakang dan bermusuhan, bahkan bertentangan. Periode ini ditandai kuatnya negara secara ideologi politik menguasai wacana pemikiran sosial politik dikalangan masyarakat. Orde Baru memberlakukan Islam sebatas memajukan kesalehan pribadi dan menentang politisasi agama.[27] Kedua, hubungan Islam dan Orde Baru bersifat reaktif kritis atau resiplokal, yaitu suatu hubungan mengarah tumbuhnya saling pengertian timbalk balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Pada periode ini, Orde Baru mulai memandang Islam merupakan denominasi politik yang tidak bisa dikesampingkan. Dan ini berdampak  membaiknya hubungan Indonesia-Timur-Tengah. Dan ketiga, bersifat akomodatif atau integratif simbiosis. Pola hubungan ini saling mengerti antara awal hingga akhir 1990-an ditandai dengan resfonsipnya pemerintah terhadap kelompok Islam.[28] 
Kebijakan Indonesaia atas Israel sejak kemerdekaan sampai masa Soeharto pada dasarnya tidak pernah berubah; tetap tidak mengakui negara Israel dan karena itu tidak ada hubungan diplomatik dan tidak ada kantor perwakilan di antara kedua belah pihak.




[1] Djalal, Hasyim, Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990, CSIS, Jakarta, 1990. Cetakan Pertama, hlm 24
[2] Ibid, hlm 251-254
[3] Abdulgani, Ruslan, Hubungan Indonesia dengan Mesir dan Timur Tengah Sepanjang Sejarah, Jakarta, 1974. Hlm 40
[4] Rahmat, Musthafa, Abd, Jejak-jejak Juang Palestina, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2002. Cetakan Pertama, hlm 274
[5] Ada beberapa faktor  yang memperburuk hubungan Indonesia-Timur Tengah 1. Politik luar negeri Soeharto sebelum tahun 1990-an tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan Islam, Kedua perasaan Jawanisme yang kuat memandang dunia dari pandangan Jawa: Jawa adalah pusat dari dunia, dan Indonesia ditakdirkan untuk memainkan suatu peran dominan dalam masalah-masalah dunia.  Dan ini telah mempengaruhi prosese pembuatan keputusan, tidak hanya dalam politik dalam negeri namun juga dalam politik luar negeri, suatu fakta yang menjadi semakin jelas dalam tahun-tahun berikuitnya. Masukan dari mereka yang ada dibawahnya menjadi terbatas. .Ketriga; peranan militer  sangat dominan dalam memutuskan kebijakan politik luar negerinya. Lihat Benedict Anderson, “The Ideas of Power in Javanese Culture”, dalam Cliare Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972, hlm 36-38
[6] Soetomo, Rusnandi, Hubungan Antara Indonesia dan Timur tengah; Analisa vlll, no. 3, CSIS, 1979. Hlm 250
[7] Ibid
[8] Soetomo, Rusmadi, Op-Cit, halaman 250
[9] Konsep abangan-santri-priyayi di Jawa ditampilkan secara lengkap dalam karya klasik Clifford Geertz: The  Religion of Java, New York: Free Press, 1959. Konsep ini dikritik oleh para akademisi. Misalnya, priyayi (bangsawan atau pejabat) adalah kategori sosial tetapi bukan kategori religius. Lainnya menyatakan bahwa ini adalah konsep kuno karena pembagian ini tidak jelas. Namun demikian, perbedaan ini tidak hilang begitu saja meskipun sebagian abangan telah menjalankan ritual lebih islami
Perlu diketahui, Koentjaraningrat lebih suka memakai istilah agami Jawi daripada Abangan dalam karyanya Javanese Culture (Singapore: Oxford University Press, 1985), hlm 316-317 dan memandang agami Jawi sebagai “suatu variasi dari Islam Jawa”.
[10] Tahqiq, Nanang, , Politik Islam , Prenada Media, Jakarta: 2004. Edisi Pertama, hlm 106
[11]  ibid, hlm 173
[12] Suryadinata, Leo,  Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Soeharto, PT Pustaka LP3ES, Jakarta: 1998. hlm 248
[13]Sulaeman, Suli,  Garis-garis Besar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, (Bagian l, 1974), Direktorat Research-Penerbitan N0. 003B/1974, Jakarta, 1974. hlm 24a
[14]Suryadinata, Leo,Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, hlm 247
[15] Bandoro, Bantarto,Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru , hlm 217
[16] Sihbudi, Riza,, Menyandera Timur Tengah, hlm 337
[17] Indonesian News and Views (Washington DC), Vol. 8, No. 3. Hlm 4-5
[18] Ibid
[19] Menyambut Arafat dengan Demo dan Qunut Nazilah; Tempo, 2 Oktober 1993, hlm 23
[20] Iran selalu membedakan antara Arafat dan Palestina. Wlaupun sekitar tahun 1980-an hubgungan Teheran-PLO memburuk, Iran masih mengizinkan dipertahankannya Kedutaan Besar Palestina di Teheran, Iran. Lihat Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, hlm 375
[21] Masykuri Abdillah, Kiprah Ulama dalam Kehidupan Masyarakat dan Negara Dewasa ini, dalam  Nanang Tahqiq (ed) Politik Islam,  Jakarta: Prenada Media, 2004. Cetakan Pertama. Hlm 190.
[22] Prayitno, Adi, Politik Akomodasi Islam; Percikan Pemikiran Politik Bahtiar Effendi,Jakarta: UIN Press, 2009. Cetakan 1, hlm 63
[23] Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, hlm 204
[24] Franklin Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence, Cornell University Press, Itrhaca, 1976. Hlm 126
[25] Gordon R. Hein, Soeharto’s Foreign Policy Second-Generation Nationalism in Indonesia” (tesis Ph.D , University of California di Berkeley, 1986. Hlm 245
[26] Leo, Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, hlm 204
[27] Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Penerbit Teraju, 2005. hlm 168-190
[28]  Prayitno, Adi, Politik Akomodasi Islam: Percikan, Pemikiran Politik Bahtiar Effendi, , hlm 65-66

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © AHMAD RIFA'I - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -