Posted by : Unknown Minggu, 14 April 2013


 


Warisan jejak peninggalan ajaran dan pandangan hidup sembilan wali penyebar agama Islam di Jawa (Wali Songo)  ternyata masih dapat dijumpai di Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat.

Masjid yang memiliki nama lain Masjid Agung Cirebon ini dibangun pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) ketika memimpin Kesultanan Cirebon pada tahun 1498 (Abad 15). Masjid ini terletak di Jalan Jagasatru, Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Letaknya yang berseberangan dengan Keraton Kasepuhan Cirebon membuat masjid ini mudah ditemukan.

Berdasarkan catatan Keraton Kasepuhan Cirebon, masjid ini dibangun pada tahun 1422 Saka atau 1500 Masehi. Pemimpin pembangunan masjid adalah Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat serta melibatkan 500 orang pekerja dari Cirebon, Demak, dan Majapahit.

Raden Sepat, seorang arsitek Kerajaan Majapahit yang menjadi tahanan perang Kerajaan Demak, maerancang bangunan masjid bersejarah ini di atas tanah seluas 400 meter persegi (20 X 20 meter) berdenah bujur sangkar dengan kemiringan 30 derajat arah barat laut. Arsitektur bangunan masjid ini bercorak akulturasi budaya Hindu, Jawa, dan Cina. Hal ini bisa kita lihat dari bangunan pagar yang berbentuk punden berundak ala Hindu, atas tumpuk khas Jawa, dan hiasan keramik dari Cina. Akulturasi arsitektur ini membuktikan secara tegas bahwa di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati memimpin Kesultanan Cirebon, tidak terdapat perbedaan budaya yang cukup mencolok. Toleransi dan tenggang rasa menjadi  ciri khas rakyat Cirebon kala itu.

Salah satu keunikan masjid ini adalah pintu utama terbuat dari kayu jati berornamen kaligrafi yang terletak di sebelah timur. Pintu ini dibuka hanya pada waktu shalat hari raya atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sehari-hari para jamaah dan peziarah bisa masuk ke ruang utama melalui 8 pintu lain di sebelah selatan dan utara dengan ukuran lebih kecil, 150 X 25 cm. Dengan ukurannya yang kecil, orang dewasa dipastikan harus membungkukkan badan saat melaluinya. Kecilnya ukuran pintu ini memiliki makna bahwa kita tidak diperkenankan sombong saat beribadah di rumah Allah. Sembilan pintu masuk Masjid Kasepuhan ini juga melambangkan sembilan wali.

Keunikan Masjid Kasepuhan semakin lengkap begitu adzan shalat Jum’at berkumandang memecahkan kesunyian di sekitar kawasan Keraton Kasepuhan ini. Alunan adzan yang disebut adzan pintu ini dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin secara berbarengan. Alunan adzan tujuh orang muadzin secara serentak ini sudah berlangsung sejak abad 16 atau masa pemerintahan Sunan Gunung Jati. Para pelantun adzan pitu pun masih terus dilestarikan. Mereka dipilih oleh penghulu masjid dari masyarakat umum yang mengerti agama. Para muadzin ini umumnya masih keturunan muadzin sebelumnya.

Sejak masa kekuasaan Kesultanan Cirebon hingga sekarang, masjid ini merupakan tempat shalat berjamaan Sultan Cirebon dan keluarganya. Hal ini terlihat dari adanya dua tempat khusus berpagar kayu jati berukuran 2,5 X 2,5 meter yang disediakan secara khusus untuk Sultan dan keluarganya melaksanakan shalat. Bagi keluarga raja juga disediakan temput wudhu khusus di sisi utara masjid berbentuk bak air mirip gentong besar. Untuk tempat wudhu jamaah para pengunjung tersedia mata air yang konon tidak pernah kering. Bahkan sejumlah masyarakat mempercayai bahwa mata air ini memiliki khasiat menyembuhkan berbagai penyakit.

Meskipun masjid ini telah dipugar beberapa kali, namun sebagian besar bangunannya masih asli. Termasuk juga tiang-tiang penyangga kayu jati berwarna coklat kehitaman yang dipugar pada tahun 1978. Yang jelas, mengunjungi masjid ini, kita seakan dibawa kembali ke romantisme jaman kejayaan Kesultanan Cirebon.
 
Adzan Pitu dan Pendekar Menjangan Wulung
Asal mula adanya adzan pitu berawal dari kisah seorang pendekar jahat sakti mandraguna bernama Menjangan Wulung. Karena ketidaksukaannya terhadap penyebaran Islam di Tanah Cirebon, setiap menjelang waktu shalat, dia berdiri di kubah masjid untuk menyerang muadzin yang akan mengumandangkan adzan.

Kehadiran pendekar Menjangan Wulung yang tiada tanding ini membuat sebagian ummat Islam resah. Terlebih lagi, saat itu sudah tiga muadzin yang meninggal berturut-berturut secara misterius ketika mengumandangkan adzan. Menurut keterangan Khatib Agung Masjid Kasepuhan, Kyai Hasan, kematian ini dianggap aneh oleh warga masyarakat setempat. Bahkan mereka menduga peristiwa ini karena kekuatan ilmu hitam Menjangan Wulung. Atas kejadian ini para Wali Songo pun menggelar musyawarah dan bersujud serta berdoa kepada Allah untuk meminta petunjuk.

Petunjuk dari Allah akhirnya datang kepada Sunan Kalijaga. Dia menitahkan agar melakukan adzan secara serentak oleh tujuh muadzin sekaligus. Adzan ini dilakukan pada waktu masuk shalat Subuh. Ketika pertama kalinya adzan dikumandangkan oleh tujuh muadzin, terdengar suara ledakan keras dari kubah Masjid Kasepuhan. Tubuh Menjangan Wulung, sang pendekar jahat hancur berkeping-keping.. Bahkan, kubah masjid pun sampai “terbang” terpental hingga ke Banten hingga kini memiliki dua kubah. Sejak peristiwa itulah, Masjid kasepuhan sampai sekarang tidak memiliki kubah sebagaimana masjid-masjid yang lain. Dan sejak itu pula masjid Kasepuhan terbebas dari pengaruh gaib yang menghalangi ummat Islam untuk beribadah.

Sampai sekarang Adzan Pitu masih tetap dilestarikan. Berbeda ketika jaman Sunan Gunung Jati, Adzan Pitu saat ini hanya dilakukan pada adzan pertama di setiap shalat Jum’at.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © AHMAD RIFA'I - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -