Posted by : Unknown Minggu, 14 April 2013




Pada umumnya orang hanya mengenal masjid sebagai rumah ibadah saja. Namun, tidak halnya dengan Masjid Al-Hilal Gowa Sumatera Selatan. Disamping sebagai pusat ibadah kerajaan Gowa, masjid ini juga sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan di masa perang. Bahkan, konon kabarnya, ketebalan dinding masjid ini melebihi ketebalan Benteng Roterdam sehingga mampu menahan serangan meriam atau bedil tentara Belanda pada waktu itu.

Fungsi masjid sebagai benteng pertahanan ini diperkuat dengan ditemukannya meriam beserta pelurunya saat dilakukan penggalian di bagian halaman masjid. Meriam tersebut kemudian dipindahkan ke komplek Makam Sultan Hasanuddin di Pallantikang.

Letak Masjid Al-Hilal adalah di Jl. Syeh Yusuf, Katangka, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia. Jarak lokasinya sekitar 10 kilometer sebelah selatan pusat kota Makassar (Lapangan Karebosi).

Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan I Manga’rangi Daeng Manra’bia Karaeng Tumenagari Bonto Biraeng atau yang berjuluk Sultan Alauddin ketika memimpin kerajaan Gowa pada tahun 1593 M. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Sultan Alauddin dibantu oleh Tumabbicara Butta atau Mangkubumi Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyori. Duet raja dan mangkubumi ini tercatat sebagai petinggi kerajaan Gowa pertama yang masuk Islam.
Konon kabarnya, setelah masuk agama Islam Sultan Alauddin langsung salat Jumat di bawah pohon besar bernama Katangka. Dan atas dorongan ulama besar Minangkabau, Datuk Ribandang, sultan kemudian membangun masjid. Konon, pohon tersebut lah yang dijadikan sultan sebagai bahan dasar pembangunan. Makanya, hingga sekarang masjid ini disebut juga Masjid Katangka.
Berdasarkan catatan sejarah, Masjid Katangka dibangun pada tahun 1603 masehi di dalam areal Benteng Kalegowa yang berarti masih dalam kawasan Istana Tamalatea, istana raja Gowa ketika itu. Pemimpin pembangunan adalah Sultan Alauddin sendiri dengan arsitektur yang berasal dari lima unsur kebudayaan, lokal, Jawa, Cina, Eropa, dan Arab.
Sultan Alauddin mendirikan Masjid Katangka di atas lahan seluas 610 meter persegi dengan luas bangunan 13 x 13 meter. Bangunannya memiliki empat tiang penyangga, yang berbentuk bulat dan memiliki ukuran yang besar dibagian tengah sebagaimana umumnya tiang bangunan di Eropa. Dindingnya terbuat dari batu bata, cukup tebal mencapai 120 centimeter. Struktur atapnya dua lapis mirip bangunan joglo Jawa dan lokal, atap mimbar mirip bentuk atap klenteng, di sekitarnya terpasang keramik dari Cina. Sedangkan Hiasan-hiasan yang berbahasa arab begitu kental dengan budaya ketimuran.
Bukan tanpa makna, bangunan Masjid Katangka memiliki nilai filosofi tersendiri. Atap dua lapis berarti dua kalimat syahadat, empat tiang berarti empat sahabat nabi, jendela bermakna rukun iman ada enam dan lima pintu bermakna rukun islam. Pada bagian imam, bangunan ini dibuat lebih pendek sehingga orang yang akan memasukinya pasti akan menunduk. Artinya, agar setiap manusia selalu rendah diri dan mengakui kebesaran yang maha kuasa.
Meskipun masjid yang konon perekat temboknya memakai putih telur ini telah dipugar beberapa kali, namun sebagian besar bangunannya masih asli. Termasuk juga mimbar masjid yang sudah berusia ratusan tahun. Yang jelas, mengunjungi masjid ini, kita akan melihat betapa kokohnya masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan ini.

Daun Lontara dan Replika Lembing
Alkisah, kabarnya dulu orang-orang Gowa percaya bahwa barang siapa yang mampu menggigit ujung naskah khotbah yang terbuat dari gulungan daun lontara, maka orang itu akan menjadi sakti dan kebal terhadap ujung senjata tajam jenis apapun.

Akibat munculnya kepercayaan tersebut, maka salat Jumat selalu berakhir kacau oleh jemaah yang berebutan menggigit ujung naskah khotbah yang dibacakan sang khatib. Akhirnya, Sultan Alauddin kemudian mengutus dua prajurit bertombak untuk menjaga dan mengawal khatib serta menghalau jamaah yang berebutan ingin menggigit ujung naskah khotbah itu.

Lama kelamaan seiring pemahaman masyarakat Gowa terhadap Islam semakin baik, dan kepercayaan tersebut sedikit demi sedikit berangsur hilang, maka khatib tidak lagi dikawal oleh prajurit, namun replika lembing atau tombak milik prajurit kerajaan tetap di pasang di sisi kiri dan kanan mihrab.

Sampai sekarang dua lembing tersebut masih terlihat di sisi kiri kanan mihrab. Kedua lembing tersebut diikatkan bendera yang bertuliskan kalimat syahadat.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © AHMAD RIFA'I - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -