- Back to Home »
- GAGALNYA PARTAI ISLAM
Posted by : Unknown
Selasa, 16 April 2013
Partai politik islam diprediksi akan
tergusur dari pusaran politik nasional pada 2014. Kemungkinan pergeseran peta
politik ini hasil jajak pendapat jika pemilu dilakukan awal oktober 2012.
Merujuk survei Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network,
tak satu pun partai berbasis massa Islam masuk zona aman. Justru ranking lima
besar dimonopoli partai yang tidak memiliki konstituen tradisional Islam, yaitu
Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat, Nasdem, dan Gerindra. Kemunculan Nasdem yang
diisi mayoritas politisi muda mengejutkan dan diyakini akan jadi penantang
serius bagi dominasi Golkar, PDI-P, dan Demokrat.
Hasil
survei tersebut telah memancing ragam tanggapan dari beberapa petinggi partai
Islam. Hidayat Nur Wahid (PKS) menilai survei bukan realitas hasil pemilu
sehingga tak boleh ditunggangi untuk mengarahkan opini bahwa partai-partai
Islam tak layak dipilih. Romahurmuziy (PPP) mengkritik LSI yang mengabaikan
faktor struktur dan manuver tokoh parpol Islam yang efektif bekerja jelang
pemilihan. Namun, Muhaimin Iskandar (PKB) tidak terlalu merisaukan hasil survei
karena masih sebatas sampling dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi partai.
Dua
Fenomena Sosiologis
Terlepas
dari faktor-faktor teknis survei yang dikeluhkan parpol Islam, ada tren
perilaku pemilih yang semakin dominan: pola partisipasi politik warga lebih
berpengaruh dan efektif ketimbang pola mobilisasi sentimen primordialitas.
Kasus pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI, khususnya pada putaran kedua,
mencerminkan melemahnya korelasi pilihan politik dengan eksploitasi sentimen
sektarian-keagamaan.
Exit
poll SMRC mengungkap lumbung suara Jokowi-Basuki salah satunya
bersumber dari anggota ormas Islam: Muhammadiyah (52 persen), NU (43), Persis
(38), dan DDII (33). Realitas politik ini berkorelasi negatif dengan seruan dan
upaya sejumlah pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar umat Islam warga
Jakarta memilih pemimpin seagama.
Sebenarnya
temuan kedua lembaga survei diatas kian mengukuhkan tesis yang muncul pada
Pilpres 2004: politik aliran, loyalitas tradisional, dan pengaruh tokoh-tokoh
tradisional sudah melemah (Rickefs, 2008). Adalah betul jika bandul perilaku
pemilih sangat dinamis mengikuti interaksi bahkan ketegangan antara agensi dan
struktur sosial-politik. Namun, ada perkembangan sosiologis masyarakat
pasca-Orde Baru yang memungkinkan parpol-parpol nasionalis lebih memiliki kesempatan mengakomodasi perubahan perilaku
masyarakat muslim. Inilah yang menyebabkan parpol nasionalis punya daya tarik
politik relatif lebih stabil dan konsisten dibandingkan dengan parpol Islam
sejak Pemilu 1999 hingga 2009.
Paling
tidak ada dua fenomena sosiologis saling berkelindan, yang ikut mendeterminasi
melorotnya suara parpol Islam. Pertama, menguatnya “santrinisasi” di kalangan
masyarakat muslim. Santrinisasi di sini dipahami dalam semangat konservatisme.
Kesalehan lebih diterjemahkan dalam bentuk keketatan menjalankan pelbagai
ritual keagamaan dan penekanan ekspresi simbolik seperti pakaian serta
pendirian lembaga-lembaga ekonomi berlabel Islam. Survei Goethe Institut
bersama Lembaga Survei Indonesia, 2011, menemukan konservatisme tumbuh subur di
mayoritas generasi muda Muslim (Kompas, 14/6/2011).
Kebijakan
deparpolisasi Islam ala orde Baru telah memicu arus balik ikhtiar santrinisasi
dari ranah politik-kenegaraan ke sosial-kemasyarakatan seperti dipelopori M.
Natsir. Namun, santrinisasi pasca-Orde Baru cenderung tidak meyakini korelasi
kesalehan dengan pilihan politik. Menurut Platzdasch (2009), santrinisasi
orientasi dan perilaku masyarakat Muslim menjadi alasan parpol-parpol
nasionalis tidak lagi bersikap netral terhadap isu-isu keagamaan. Tak ada lagi
parpol nasionalis yang sepenuhnya sekuler. Pendirian sayap-sayap partai
keagamaan di tubuh Golkar, Demokrat, dan PDI-P mereflesikan perkembangan ini.
Gejala “santrinisasi” parpol nasionalis itu berakar dari arus serupa di level
masyarakat. Pergeseran sosiologis dan akomodasi parpol nasionalis tidak diimbangi
ijtihad politik sepadan dari gerbong parpol Islam. Dampaknya adalah sumber
elektoral parpol Islam tergerus.
Kedua,
membesarnya kelas menengah yang berkarakter pragmatis. Kelompok ini tidak
menempatkan nilai-nilai ataupun ideologi sebagai preferensi utama dalam pilihan
politiknya. Parsitifasi politik kelas menengah-pragmatis sangat ditentukan oleh
tingkat kepercayaan dan kepentingan ekonomi-politik individu maupun kelompoknya
terhadap institusi politik. Sifat pilihan politik kelas menengah labil dan tak
pasti. Masuk dalam kategori ini adalah kelas menengah muslih yang lahir pada
era Orde Baru.
Pasca-reformasi,
kelas menengah Muslim mengalami santrinisasi sebagai dampak dari strategi
santrinisasi pada ranah non-negara di era Soeharto. Iini dicirikan kuatnya
gelombang ekspresi kesalehan dan atribusi keagamaan di ruang publik, termasuk
media. Dalam konteks ini, partai-partai politik berhaluan nasionalis relatif
memiliki kapabilitas institusional guna menerjemahkan dan meng-“kanalisasi”
aspirasi politik kelas menengah, termasuk dari segmen Muslim-santri.
Beban
Ideologis-historis
Membayangkan
politik Indonesia pasca-Pemilu 2014 tanpa parpol Islam memang terlalu prematur.
Namun, ancaman menyusutnya ceruk suara merupakan tantangan yang tak bisa
dihindari. Parpol Islam tidak punya pilihan selain belajar dari par
kompetitornya sembari sembari melakukan otokritik dan keluar dari kungkungan
ideologis. Daya tahan parpol Islam di pemilu nanti akan sangat ditentukan oleh
sejauh mana mereka berani keluar dari beban idelogis-historis agar mampu
merebut hati pemilih yang sedang berubah perilaku sosiologisnya, tidak
terkecuali kelas menengah Muslim-santri.
Kini,
semua partai politik dituntut bekerja efektif, proaktif dalam merespons
dinamika perilaku pemilih, dan berorientasi pragmatis; berani keluar dari
kesempitan ideologis demi terobosan-terobosan genuine dan memberikan
manfaat untuk masyarakat. Pada akhirnya, “setiap bentuk agenda yang dipaksakan
secara ideologis pasti akan gagal dan hanya menciptakan bahaya-bahaya...,” ujar
Mahbubani.