- Back to Home »
- MAPABA: CUCI OTAK PMII
Posted by : Unknown
Selasa, 16 April 2013
Jum’at (2/10), Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta menggelar rangkaian rutinitas
tahunan, Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA).
Jika dalam Islam ada pencucian otak berupa syahadat, maka
dalam PMII pun ada. Mapaba ini syahadatnya. Sebelum menikmati ‘surga firdaus
PMII’ para kader baru dituntut untuk sumpah setia lahir batin memposisikan
dirinya menjadi individu-pinjam istilah Bang Ajung- ‘berbaju biru’, berbadan
NU, berkepala pembaru. Maka, simbol-simbol ‘santrinisasi’ melekat sudah kepada
para kader, pada gilirannya tuduhan-tuduhan ‘islam kiri-kanan’ menghilang sudah
padanya. Syahadat memang cukup jitu dalam mencuci otak seseorang.
Semacam alat filter Mapaba menggilas habis elemen-elemen
‘islam kiri-kanan’ dari para kader baru. Apa saja formula filter itu, jika itu
benar syahadat.
Syahadat Tangan
Terkepal
Ada tiga hal Mapaba ini dapat menjadi sebagaimana
syahadat, yaitu: iqroorun bil lisaan, tasdhiiqun bil jinaan, idhaarun bil
arkaan.
Iqrorun bil lisan (pengikraran
lisan). Secara sederhana Iqrorun bil lisan diartikan bahwa setiap
individu harus paham betul apa konsekuensi dari pengikraran yang
dilontarkannya, posisi mana yang diambil ketika telah diikrarkan. Jelas itu
membutuhkan komitmen sejati yang dimiliki para kader. “Yang tidak siap menjadi
kader PMII, keluar dari barisan!” Teriak Ketua Cabang Ciputat sesaat sebelum
dilakukannya pengikraran. Kalimat pembuka dalam kitab al-Amrithi: “Derajat
pemuda akan naik dilihat dari komitmennya, jika tidak ada komitmen dalam
dirinya, maka hilanglah potensi dan derajatnya”. Maka, kutu loncat merupakan sifat
penghianatan dan pembangkangan kepada PMII.
Tasdhiiqun bil jinaan (pembenaran
hati). Malam yang tenang di kota Bogor (02.00 WIB) ditemani para mentor dengan
membagi enam kelompok banking education nilai dasar pergerakan
(NDP) menjadi ‘qiyamullail’ para kader. Penggalian makna NDP ini
merupakan wujud pembenaran hati. Tidak ada ceritanya, kader PMII yang bermuka
dua. Jika itu ada, sebutan sopan padanya ‘murtad’.
Idhaarun bil arkaan (aktualisasi
semua anggota/daya). Tawassut (moderat), tawajjun (kesetaraan), ta’addul (keadilan),
dan tasammuh (tolerans) panjang lebar menjadi makanan pada setiap sesi. Prinsip inilah yang menjadi instrumen
signifikan PMII selama berpuluh tahun lamanya dalam percaturan pergerakan
nasional. Itu merupakan ruh perjuangan PMII yang memancarkan energi dalam
setiap jiwa para kader. “Aswaja dipegang teguh” Ujar salah satu mentor.
Jalan Panjang Menuju Gerakan Baru
Jika benar PMII adalah sebuah pergerakan, maka sifatnya
harus kontekstual dengan iklim jaman, ia harus mampu menjadi imam pergerakan
bukan makmum dari sebuah pergerakan. PMII harus menjadi buku besar dalam
melihat jendela pergerakan Islam di bumi nusantara, bukan catatan-catatan
kecil, apalagi museum kuno yang berlapis debu tebal.
Seiring dengan perubahan yang berjalan cepat, PMII harus
segera berbenah diri menuju ‘revolusi gerakan’. Kondisi kekinian yang sedang
merenggut bangsa, praktik korupsi, dekadensi moral, anarkis berlatar suku, ras,
dan agama, hilangnya falsafah bhineka tunggal ika, begitu dahsyatnya
membombardir negeri subur loh jinawi ini. Maka, wajar saja disana-sini
badut-badut berdasi bercanda mesra tanpa kendala. Mahasiswa lengah untuk ini.
Maka, siapa lagi kalau bukan PMII.
Sahabat Aly ra,
pernah berpesan: “Pria sejati bukanlah orang yang bicara, itu loh bapaku, tapi
pria sejati akan bicara, inilah Aku”. Kalimat ini bukankah jelas bahwa gerakan
kepemudaan adalah gerakan yang bersifat mandiri, percaya diri, dan revolusioner.
Jangan lagi kader kita dibuat untuk menjadi bebek-bebek
berjas akademik, buatlah mereka menjadi bandar-bandar bebek yang unggul dalam
prestasi handal dalam bertindak terdepan dalam berkarya. Bukankah itu nilai
esensial dari sebuah pergerakan.
Jangan khawatir! Pak Muhaimin Iskandar (Menakertrans),
kemarin anda mengatakan: mahasiswa sekarang menyedihkan. Kader baru hasil
Mapaba ini, punya konsep baru berupa
pengkajian dan pengajian al-Qur’an. Karena dari hasil investigasi, kelemahan
kader-kader organisasi keislaman adalah kurangnya kemampuan memahami dan
membumikan al-Qur’an.