- Back to Home »
- Respon Ormas-ormas Islam Terhadap Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tentang Konflik Israel-Palestina
Respon Ormas-ormas Islam Terhadap Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tentang Konflik Israel-Palestina
Posted by : Unknown
Kamis, 25 April 2013
Sumber
dari segala sumber konflik akut di kawasan Timur Tengah adalah masalah
Palestina[1].
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah hak-hak sah bangsa Palestina untuk mendirikan dan memiliki sebuah negara
yang merdeka dan berdaulat serta diakui dan dilindungi lembaga-lembaga
internasional. Israel maupun AS mengetahuinya. Yang sulit dipahami adalah
mengapa Israel-AS sama sekali tidak menghendaki terbentuknya negara Palestina
merdeka? Dubes Palestina untuk Indonesia, Ribhi Awad menemukan sebuah dokumen
resmi pemerintahan AS yang secara eksplisit menyebutkan, AS mendukung setiap
bangsa manapun di dunia ini untuk mendirikan sebuah negara merdeka, kecuali
bangsa Palestina. Dengan kata lain, AS terus berusaha keras mencegah
terbentuknya sebuah negara Palestina.[2]
Bangsa
Palestina tidak hanya menderita secara politik, namun dari waktu ke waktu juga
berada dalam situasi memprihatinkan dari segi sosial ekonomi. Meningkatnya kekejaman Israel terhadap warga
Palestina, membangkitkan kemarahan, tidak hanya di kalangan Palestina, melainkan
juga di dunia Arab dan Islam[3] .Misalnya,
di Jakarta berlangsung seminar dan simposium yang mengambil tema “Achieving a just, comprehensive and lasting
solutiuon of the question of Palestina-the
role of Asia”, dan dihadiri sekitar 150 delegasi dari berbagai negara
(terutama Asia). Forum ini merupakan bagian dari upaya PBB untuk
mempromosikan pemecahan menyeluruh, adil
dan abadi atas masalah Palestina, serta untuk memobilisasi dukungan dan bantuan
internasional bagi bangsa Palestina. Dari simposium ini terlihat suatu
keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran HAM oleh Israel. Karenanya penting
sekali peranan negara-negara di dunia teutama Asia yang mempunyai keterikatan
historis dan spiritual dalam mendukung rakyat Palestina untuk mendapatkan
hak-haknya sebagai bangsa merdeka dan berdaulat. [4]
LSM-LSM
di Asia juga diharapkan ikut ambil
bagian dalam memobilisasi dukungan publik dari kawasan ini bagi terciptanya
pemecahan masalah Palestina secara adil dan komprehensif, yang dilandaskan atas
resolusi-resolusi PBB. Mobilisasi diharapkan pula melibatkan media masa, serikat
buruh, organisasi-organisasi pemuda dan wanita, kelompok bisnis dan sektor
swasta, serta lembaga akademis dan kebudayaan yang ada di seluruh kawasan Asia
dan Pasifik. Namun, keikutsertaan negara-negara Asia dalam memecahkan masalah
Palestina menghadapi sejumlah persoalan, di antaranya adalah; pertama, beberapa negara di Asia sendiri
tengah dihadapkan pada problem yang “mirip” dengan masalah Palestina; seperti
soal Kashmir di India, Aborigin di Australia. Papua dan Aceh di Indonesia. Kedua, sulit dipungkiri; mayoritas negara di Asia merupakan “sekutu
AS”. Padahal siapapun tahu, AS merupakan pendukung utama Israel, dan Washington
tidak pernah sedikitpun mengendurkan kesetiaannya pada negara Yahudi itu.
Dengan situasi demikian, sangat diragukan keberanian Asia mengambil sikap yang
berseberangan dengan AS[5]
Berbeda
dengan AS dan PBB negara-negara di belahan dunia Eropa sejak awal tahun 2000-an
berani mengambil sikap yang lebih kritis terhadap Israel. Antara lain terlihat
dari sikap yang ditunujukkan LSM di Eropa yang secara terang-terangan mengecam
pelanggaran HAM yang dilakukan Israel. LSM Eropa juga sering menggalang
demonstrasi secara besar-besaran untuk menentang Israel.[6]
Pada
tingkat masyarakat Indonesia, terutama di kalangan mayoritas kaum Muslim
Indonesia umumnya masih lebih kuat arus yang menolak pembukaan hubungan
diplomatik Indonesia dengan Israel. Alasannya, selama Israel masih belum
bersedia melepaskan penjajahannya atas semua wilayah bangsa Arab-termasuk kota
suci Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya
terdapat Mesjid Al-Aqsa-yang
didudukinya sejak 1967, tidak seharusnya pemerintah RI membuka hubungan resmi
dengan Israel.
Soal
pembukaan hubungan diplomatik RI-Israel muncul ketika Menhankan Edi Sudrajat
yang menyatakan Indonesia akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika
negara-negara Arab sudah mengambil keputusan itu. Pernyataan itu menyulut
reaksi keras dari masyarakat Muslim Indonesia, sebagaimana terlihat dari
digelarnya apel anti-Israel di Masjid Al-Azhar (19 September 1993), yang
dihadiri sekitar 15.000 orang. Kehebohan terjadi lagi ketika muncul berita
tentang kedatangan delegasi Israel-yang diwakili Dubes Israel di Singapura
Megiddo dan Modechai Ben Ari (Deputi Direktur Jenderal Departemen Pariwisata
Israel)-dalam sidang umum WTO (World Tourism
Organization) di Denpasar, Oktober 1993. Semua tokoh dan lembaga Islam
mengeluarkan reaksi bernada protes terhadap keputusan pemerintah RI yang
mengundang delegasi Israel itu. Menanggapi reaksi itu Menko Polkam Soesilo Soedarman
buru-buru menegaskan, kedatangan delegasi Israel ke Denpasar bukan diundang
pemerintah Indonesia Jakarta, melainkan WTO.[7]
Ketika
Arafat dan Yitzak Rabin
melaksanakan pembicaraan rahasia yang
menghasilkan penandatanganan pakta perdamaian di Washington DC 13 September
1993, Presiden Soeharto memberikan dukungannya. Meskipun memberikan dukungannya
pada pakta perdamaian PLO dengan Israel tersebut, namun pendapat di Indonesia
masih terpecah. Banyak kalangan Islam menginginkan pembukaan hubungan
diplomatik dengan Israel karena PLO telah melakukannya, dan lainnya masih tetap keberatan-mereka mau
menunggu sampai Israel mengembalikan seluruh tanah yang didudukinya ke
negara-negara Arab. Abdurahman Wahid, pimpinan tertinggi NU[8],
adalah penganjur utama normalisasi hubungan itu. Ia bahkan menerima undangan Harry Truman Institute di
Tel Aviv untuk menghadiri seminar dan menyaksikan penandatanganan pakta
perdamaian antara Yordania dengan Israel.[9] Namun
demikian, ia dikritik Pimpinan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang curiga pada kesungguhan hati Israel. Aisyah
Aminy, seorang anggota DPR wakil dari
PPP, mengatakan bahwa Israel “ tidak menghargai hak-hak asasi manusia” dan
untuk mengakui Israel saat ini sebenarnya hanya memperkuat posisi Israel.[10]
Tetapi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) sejalan dengan Wahid dalam
isu ini.
Belum
reda reaksi terhadap kehadiran delegasi Israel itu, pada bulan yang sama, Rabin
“mendadak” singgah di Jakarta dan
mengadakan pertemuan selama sekitar satu jam dengan Soeharto di Cendana 15
Oktober 1993. Sekalipun Mensesneg Meordiono menegaskan, dalam menerima Rabin.
Presiden Soeharto bertindak “bukan
sebagai Presiden RI” melainkan selaku
Ketua GNB, namun reaksi keras kembali bermunculan. Demonstrasi para pemuda
dan mahasiswa Islam yang menentang kedatangan Rabin, antara lain terjadi di
Jawa Timur. Aksi serupa diselenggarakan kelompok yang menamakan dirinya sebagai
HIPMAZ (Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Anti Zionisme) di Jakarta.[11]
Reaksi
RI-Israel muncul kembali sewaktu lima senator AS berkunjung ke Jakarta
pertengahan Januari 1994 dan mendesak RI agar mengakui dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hanya
sepekan setelah adanya desakan dari para senator AS itu, pada 22 Januari 1994
muncul berita adanya dua perusahaan Israel (Alhit dan BVR) yang berminat
membangun pangkalan angkatan udara di Indonesia. Hal ini kemudian dibantah Edi Sudrajat. Pada Februari 1994, Tel Aviv
mengundang 4 wartawan Indonesia berkunjung ke Israel serta mengadakan wawancara
dengan Rabin. Dalam wawancara itu, Rabin (PM Israel waktu itu) menyatakan
harapannya agar hubungan diplomatik RI-Israel supaya segera diwujudkan.
Berita
itu cukup menarik, setidaknya, karena ada tiga hal. Pertama, inilah untuk pertama kalinya pemerintah Israel secara
resmi mengundang dan mengadakan wawancara khusus dengan para wartawan
Indonesia, Kedua, satu di antara
empat wartawan Indonesia yang diundang ke Israel adalah dari Republika, -yang karena statusnya
sebagai “koran ICMI”-dianggap sebagai salah satu media masa yang mewakili
aspirasi umat Islam Indonesia. Ketiga,
dalam kesempatan itu Rabin juga sempat “membuka rahasia” bahwa dalam
pertemuannya dengan Soeharto di Jakarta
(Oktober 1993) telah dicapai kesepakatan, bahwa secara bertahap (RI dan
Israel) akan menciptakan kondisi-misalnya melalui hubungan bisnis-bagi
timbulnya hubungan lebih baik.[12]
Pada
akhir Oktober 1994, empat tokoh Islam Indonesia-yaitu Abdurahman Wahid (NU),
Habib Chirzin (Muhammadiyah), Djohan Effendi (Departemen Agama) dan Bondan
Gunawan (Fordem)-berkunjung ke Israel[13]
atas undangan pemerintah setempat guna menghadiri seminar tentang perdamaian
yang diselenggarakan Institut Harry S.
Truman, dan sekaligus menyaksikan penandatanganan perjanjian perdamaian
Yordania-Israel yang disponsori Amerika, akhir Oktober 1994. Keempat tokoh Islam Indonesia itu juga dikabarkan sempat
mengadakan pembicaraan dengan Menlu Israel.[14]
Sepulangnya
dari Israel, Abdurahaman Wahid (waktu itu Ketua PB NU) dengan lantang
menyerukan kepada pemerintah RI agar segera menjalin hubungan dengan Israel.
Pembukaan hubungan itu, katanya akan menguntungkan posisi RI di dunia
internasional. “Sudah waktunya Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan
Israel. Dengan demikian, kita akan lebih berperan untuk membantu perjuangan
bangsa Arab”, kata Wahid[15].
Pernyataan Wahid ini kemudian menyulut kontroversi di kalangan masyarakat
Muslim Indonesia. Pada Oktober-November 1994, semakin marak kontroversi yang
muncul akibat pernyataan Wahid itu. Ketika mulai timbul suara-suara yang
menentang gagasannya. Wahid “meralat”; “Saya tak mengusulkan, tapi minta
dipikirkan serius”, katanya.[16]
Ia menambahkan, “jika antara Arab dan Israel saja tidak ada masalah, mengapa
kita justru selalu mempermasalahkannya.[17]
Pertengahan
Desember 1994, sejumlah ulama mendatangi gedung DPR-RI guna menyampaikan sebuah
petisi menyangkut persoalan hubungan RI-Israel. Petisi-yang merupakan kelanjutan
dari hasil pertemuan 41 alim ulama di Jakarta, awal Desember 1994-itu antara
lain berisi tuntutan agar pemerintah RI tidak membuka hubungan diplomatik
dengan Israel. Tuntutan itu jelas merupakan reaksi terhadap imbauan Wahid agar Jakarta
segera menjalin hubungan dengan Tel Aviv, yang kemudian membangkitkan kemarahan
mayoritas umat Islam Indonesia.
Isu
hubungan RI-Israel kembali muncul, ketika bertempat di presidential suite, lantai 41 Hotel Waldorf Towers, New York, 22
Oktober 1995, terjadi pertemuan “mendadak” ke-ll antara Soeharto dan Rabin,
yang juga sempat diwarnai “insiden” antar-para pengawal dua pemimpin. Dalam
pertemuan-yang menurut Mensesneg (waktu itu) Moerdiono “sedikit mendadak”-itu,
Rabin dikabarkan “hanya” menjelaskan kepada Soeharto soal perkembangan terakhir
di kawasan Timur tengah, khususnya setelah tercapainya Perjanjian Oslo ll, 28
September 1995.[18]
Moerdiono tidak memberikan penjelasan yang jelas apakah dalam pertemuan itu
juga disinggung soal kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik RI-Israel.
Aksi
penolakan juga dilakukan oleh sejumlah ormas Islam[19],
kalangan mahasiswa Islam, dan sejumlah anggota parlemen. Yang mengutuk
kekejaman Israel terhadap Palestina. Reaksi bernada keberatan juga datang dari 16 Duta besar negara-negara Arab di
Jakarta. Bahkan sejumlah ormas dan LSM Islam sempat menggalang dana guna
mendukung perjuangan bangsa Palestina; di antara mereka juga ada yang membuka
pendaftaran bagi warga Indonesia yang ingin “berjihad” melawan Israel. Hal ini
sekaligus menunjukkan, masalah hubungan dengan Israel merupakan yang sangat sensitif di kalangan publik
Indonesia.[20]
Namun,
di samping yang menolak, ada juga yang mendukung rencana pembukaan hubungan
(resmi) dagang dengan Israel. Mereka yang kontra umumnya dilandasi pada
argumentasi bahwa kaum zionis masih menjajah dan menindas bangsa Palestina,
serta tidak mau menaati Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 242 dan 338 yang
menyerukan agar Israel menarik diri dari wilayah Arab (yaitu seluruh wilayah
Palestina, Lebanon Selatan, Dataran Tinggi Golan milik Suriah) yang mereka duduki sejak perang 1967 dan 1973.
Sebaliknya, mereka yang mendukung, umumnya berargumen bahwa hubungan dagang
RI-Israel sebenarnya sudah berjalan, walaupun secara diam-diam; dan bahwa eksistensi
negara Israel tidak bisa dipungkiri. Oleh karenanya, berdagang dengan Israel
tidak ada bedanya dengan berdagang dengan negara-negara lain manapun.[21]
Terlepas
dari pro dan kontra yang semakin mengeras di kalangan masyarakat Indonesia
dalam hal isyu menjalin hubungan dagang dengan Israel, tidak salahnya jika
pemerintah Indonesia memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama,
masalah Palestina-Israel mengandung muatan aspek politik dan sekaligus agama. Oeh
sebab itu, segala kebijakan yang berkaitan dengan masalah itu harus ditangani
secara hati-hati. Perlu diingat, soal Israel tidak sepenuhnya bisa lepas dari
aspek agama. Israel, misalnya, tidak segan-segan memanfaatkan hubungan dagang
dengan negara mana pun guna semakin mengeraskan penindasan mereka terhadap bangsa
Palestina, termasuk merusak Masjid Al-Aqsha, seperti yang dilakukan Ariel
Sharon pada September 2000.
Kedua,
intensifkan dialog dengan berbagai kalangan masyarakat (parlemen, kampus,
ormas, dll) sebelum pada waktunya nanti memutuskan membuka secara resmi kontak
dagang dengan Israel. Kendati pemerintah Presiden Wahid pada 1999 menegaskan tidak akan membuka hubungan
diplomatik (hingga Palestina diberi kemerdekaan), namun anggapan yang
berkembang dalam masyarakat adalah hubungan dagang dapat dipakai sebagai
“jembatan” menuju pembukaan hubungan diplomatik penuh dengan Israel sebagaimana
yang sudah terbukti dalam kasus hubungan RI-RRC beberapa tahun silam..
Ketiga,
Jakarta sebaiknya perlu belajar pada pengalaman negara-negara anggota OKI (Organisasi
Konferensi Islam) lain yang telah membuka hubungan –ekonomi maupun
politik-dengan Israel seperti Turki, Mesir dan, Yordania. Benarkah ekonomi
mereka bertambah baik setelah berhubungan dengan Israel? Bukankah negara-negara
seperti Maroko, Tunisia, Qatar, dan Oman (yang telah menjalin hubungan bisnis
dengan Israel) justru sering dibuat kecewa oleh negara Zionis Itu? Dan, jika
Lobi Yahudi memang benar-benar (bukan sekadar mitos) mempunyai pengaruh besar
di pentas politik internasional, mengapa Turki-yang bahkan sudah menjalin kerja
sama di bidang hankam dengan Tel Aviv-hingga akhir 2004, masih ditolak untuk
menjadi anggota Uni Eropa?
Keempat,
berikan kesempatan terlebih dahulu kepada pihak Palestina dan Israel untuk
menyelesaikan proses perundingan damai mereka. Jika Indonesia membuka hubungan
dagang dengan Israel, hal ini justru membangkitkan aksi-aksi protes dari
berbagai kalangan masyarakat; dan bila aksi-aksi penolakan ini semakin meluas
dan mengeras, tampaknya tidak ada investor asing-apa pun keturunannya-yang mau
datang ke Indonesia. Padahal (rencana) pembukaan hubungan dagang dengan Israel
waktu itu dimaksudkan untuk menarik para investor besar AS yang keturunan
Yahudi?[22]
[1] Konflik Palestina dan
Israel adalah konflik politik yang memperebutkan wilayah di mana akar masalahnya
bermuara pada persoalan ideologis sehingga sangat susah diselesaikan. Mengenai
konflik ini, selain di harian media Arab Timur Tengah, banyak pula literatur
yang mengkaji akar masalah konflik tersebut. Di Mesir misalnya, pakar Yahudi
Abdul Wahab Masiri menelurkan karya-karya seputar Yahudi baik kajian historis,
teologis maupun konlik Palestina-Israel.Lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis;
Konflik Yahudi Kristen, dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004. Hlm 19
[2] Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah, hlm 319
[3]Setiap terjadi eskalasi
pelanggaran HAM yang dilakukan Israel, OKI dan Liga Arab meresponnya tetapi tidak terlihat kesungguhan
negara-negara Arab membela bangsa
Palestina. Mereka sering terjebak untuk lebih gemar meneriakkan retorika
ketimbang aksi. Dan juga pengaruh dominasi AS yang sangat kuat dalam membela
Israel. (Lihat Peter Rosler Garcia, “AS
Negara Adikuasa dalam Jalan Keliru,” Kompas (19 September 2002)
[6] Ibid, hlm 326
[8] Nahdlatul Ulama (NU)
sebagai organisasio sosial dan pendidikan lahir 31 Januari 1926 di Surabaya.
“Rois Akbar” (Ketua Umum) pertama dijabat KH. Hasyim Asy’ari dan Khatib Awwal. KH. Hasyim Asyari adalah Kakek
Abdurahman Wahid dan ayah dari Wahid Hasyim. Kekuatan utama NU merekatkan dirinya dengan massa rakyat adalah
hadirnya figur kyai sebagai pemimpin organisasi. Kyai, selain biasanya berasal
dari “orang berada” pemilik tanah-tanah yang luas, juga berasal dari kaum
priyayi. (Lihat “Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, Farchan Bulkin
(Ed(, Jakarta, LP3ES , 1985. Cetakan Pertanma. hlm 235
[9] Merdeka 7 Nopember 1994,
Gatra, 31 Desember 1994, hlm 21
[11] Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah, hlm 337-338
[12] Ibid, 339
[13] Berita-berita tidak
resmi yang tersebar luas dikalangan masyarakat menyebutkan bahwa kepergian
mereka ke Israel atas “restu” dan “sponsor” pihak Sekretariat Negara RI
[14] Yang antara lain
dilaporkan Republika dan Media Indonesia, 15 Pebruari 1994
[15] Majalah Gatra,
19 Nopember 1994
[16] Majalah Gatra, 26 Nopember 1994
[17] Panji Masyarakat, Januari 1995
[18] Lihat, Israeli Palestinian Interim Agreement on the
West Bank and the Gaza Strip (Jerusalem: Israel Information Center,
Ministry of Foreign Affairs, 1995
[19]Sebagaimana diketahui
mereka yang menolak pembukaan hubungan dagang RI-Israel juga datang dari
kalangan NU dan Muhammadiyah, di samping berbagai organisasi dan kelompok
masyarakat dan mahasiswa seperti KAMMI, Gamais-ITB, Salam-UI, DDII, KISDI,
KWPB, FPU. Lihat Riza Sihbudi, Op-Cit,
hlm 351)
[20] Sihbudi, Riza, Menyendera Timur Tengah, hlm 345
[21] Harian Republika, 19 Noveember 1999.
[22] Sihbudi, Riza, Menyendera Timur Tengah, hlm 345