- Back to Home »
- Perbedaan Pandangan antara Sunni dan Syi'ah (UIN)
Posted by : Unknown
Rabu, 17 April 2013
1. Menurut Sunni
a) Pendapat dari Empat Mazhab Sunni:
- Pendapat Mazhab Hanafi
- Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah memiliki kekuatan hukum, baik dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala macam masalah kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai kondisi tertentu.
- Pendapat Mazhab Syafi'i
- Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat bagi para musafir perjalanan jauh (safar) dan saat hujan serta salju dalam kondisi tertentu. Bagi mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.
- Pendapat Mazhab Maliki
- Maliki menganggap alasan untuk melaksanakan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, keadaan gelap pada akhir bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang sedang melaksanakan haji dalam kondisi tertentu.
- Pendapat Mazhab Hambali
- Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat saat Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan bagi para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid berlebihan, orang yang terus-menerus buang air kecil, orang yang tidak dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu, dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya.
b) Pendapat Perawi Hadits lainnya
- Pendapat Ibnu Syabramah
- Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat karena beberapa alasan dan bahkan tanpa kondisi khusus selama hal tersebut tidak berubah menjadi suatu kebiasaan.
- Pendapat Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
- Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala kondisi tanpa syarat apapun.
c) Dalil yang memperkuat adalah:
Dari Muadz bin
Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang
Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama’ salat antara
Dzuhur dan Asar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka
mengakhirkan salat dzuhur sampai berhenti untuk salat Asar. Dan pada waktu
salat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam
sebelum berangkat maka menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya. Tetapi jika sudah
berangkat sebelum matahari matahari tenggelam maka mengakhirkan waktu salat
Maghrib sampai berhenti untuk salat ‘Isya, kemudian menjama’ keduanya.” (HR Abu Dawud dan
at-Tirmidzi).
2. Menurut Syi'ah
Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tidak
dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tidak berada dalam keadaan sakit,
dapat menjama' salat, baik jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang
memperkuat hal tersebut adalah:
Dirikanlah salat
dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa'
[17]:78)
Dalil-dalil lain yang memperkuat
hal ini ada dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak
Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tidak Bepergian);
Ibnu Abbas r.a. berkata,
"Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena khauf
(sedang berperang) dan bukan karena hujan."
Menurut hadits
Waki', dia berkata, "Aku tanyakan kepada Ibnu Abbas, 'Mengapa beliau
melakukan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Agar
beliau tidak menyulitkan umatnya.'"
Menurut hadits
Mu'awiyah, ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa maksud
Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Beliau bermaksud tidak
menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)