- Back to Home »
- Masjid Saka Tunggal Baitussalam Banyumas Jendela Islam di Jaman Agama Kuno
Posted by : Unknown
Minggu, 14 April 2013
Rekam jejak
agama Islam di jaman kerajaan Singasari masih dapat dijumpai di Masjid Saka Tunggal Baitussalam. Keaslian ornamen di ruang utama, ukiran kayu yang
bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala, atap dari ijuk kelapa
berwarna hitam, mengingatkan bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Sebagaimana
terpahat di Saka Guru (tiang utama), masjid ini dibangun pada tahun 1288
masehi. Dengan demikian, masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai satu-satunya masjid di Pulau Jawa yang
dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad
15-16 M, dan sekaligus menjadikan masjid ini sebagai masjid tertua di Indonesia.
Masjid yang
dikenal dengan nama Masjid Saka
Tunggal ini di bangun
di tempat suci Agama Kuno (agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindu
Budha). Hal ini, dapat dibuktikan dengan adanya batu menhir di
sekitar masjid, bekas tempat ritual Agama Kuno yang dibangun pada tahun
1522 M. Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang
di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh
Bali.
Masjid Saka Tunggal
hanya memiliki satu tiang
penyangga yang berada di tengah bangunan utamanya. Bentuknya tegap
berdiri hingga di atas wuwungan berbentuk
limas, seperti wuwungan pada Masjid Agung Demak. Saka ini dibuat dari
galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni berdiameter sekitar 35
sentimeter dengan empat sayap ditengahnya, nampak seperti
sebuah totem.
Bagian
bawahnya
dilindungi
kaca, mungkin agar bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid dapat terlindungi.
Keunikan ini
bukan tidak mempunyai makna. Filosofi dari saka tunggal (satu tiang penyangga) adalah
melambangkan bahwa orang hidup itu harus seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok,
jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia. Empat sayapnya
memiliki arti manusia itu dikelilingi oleh air, angin, api dan bumi. Artinya manusia
harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak
angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar,
dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang”.
Sejarah masjid
yang luasnya 12 x 18 meter ini tak bisa dilepaskan dari peranan Mbah Mustolih
yang hidup dalam Kesultanan Mataram Kuno. Tidak jelas darimana Mbah Mustolih berasal.
Namun warga sekitar meyakini bahwa dialah pendiri masjid dan orang pertama kali
yang menyebarkan Islam di Cikakak. Makamnya terletak 150 meter sebelah selatan masjid.
Saat ini Masjid Saka Tunggal belum
kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang
semula menjadi dinding masjid telah diganti dengan tembok. Yang jelas, dengan berdirinya Masjid Saka Tunggal bukti kuat
kalau syiar Islam di
nusantara telah di mulai ratusan tahun silam. Bahkan, jauh melebihi era Hindu
Budha.
Masjid
Saka Tunggal hingga saat ini masih mempertahankan tradisi unik untuk tidak menggunakan pengeras suara. Karena itu, jika waktu salat tiba azan akan dilantunkan secara serempak
oleh empat orang muazin. Mereka berpakaian sama dengan imam, menggunakan lengan panjang berwarna putih, dan memakai udeng (ikat kepala) bermotif
batik.
Tradisi unik lainnya adalah tradisi
yang disebut ura-ura. Yaitu jamaah masjid berzikir dan bersalawat bersama-sama dengan nada seperti melantunkan kidung jawa dengan bahasa campuran
Arab dan Jawa. Akan tetapi, tradisi ini hanya dilaksanakan pada hari Jumat saja sewaktu menunggu Salat Jumat
dan setelah melaksanakannya.
Masjid
Saka Tunggal juga mempunyai
ritual yang tak kalah unik. Di antaranya adalah ritual Penjarohan
yang digelar setiap tanggal 26 Rajab sebagai bentuk rasa syukur warga setempat sekaligus memperingati
haul Mbah Mustolih.
Nama ritual ini berasal dari kata “jaroh” yang berarti ziarah. Ritual dimaksudkan memberi penghormatan kepada leluhur
yang telah mendirikan desa dan Masjid Saka Tunggal.
Ritual
unik lainnya adalah
ritual yang disebut dengan Ganti Jaro
Rajab, yakni mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid yang melibatkan seluruh warga desa Cikakak.
Proses penggantian pagar bambu sepanjang
300 meter ini selesai hanya dalam waktu 2 jam. Dalam melakukan ritual ini terdapat beberapa pantangan yang harus ditaati warga.
Mereka tidak boleh berbicara dengan suara keras dan tidak diperbolehkan memakai
alas kaki.
Selain bermakna kebersamaan dan gotong royong, tradisi Ganti Jaro
Rajab juga bagi warga setempat dipercaya bisa menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Ritual ini kemudian diakhiri dengan prosesi arak-arakan lima gundukan nampan yang berisi nasi tumpeng yang kemudian diperebutkan warga karena dipercaya bisa memberikan berkah.
Meskipun lokasinya berada di desa kecil, Cikakak, masuk wilayah Wangon Banyumas atau 30
KM ke arah barat dari kota Purwokerto. Namun, sampai sekarang kegiatan-kegiatan unik di Masjid Saka Tunggal Baitussalam tersebut selalu diburu oleh ratusan warga, tidak ketinggalan wartawan di berbagai media. Apalagi, setelah Pemkab Banyumas menetapkannya sebagai daerah cagar budaya.
kenapa dalam tradisi ganti jaro mereka tidak boleh berbicara dengan suara keras dan tidak diperbolehkan memakai alas kaki?
BalasHapus