- Back to Home »
- Respon Mesir terhadap Kemerdekaan Israel
Posted by : Unknown
Kamis, 25 April 2013
Sehari
setelah Israel diproklamasikan sebagai sebuah negara, pada 15 Mei 1948,
Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak dan Negara Arab dan lainnya menyerbu Tel
Aviv. Tindakan ini adalah wujud geram negara-negara Arab atas putusan sepihak
PBB, yaitu menciptaka negara Israel di bumi Palestina.[1] Bagi
negara-negara Arab keputusan tersebut bukan hanya reaksi terhadap berdirinya
negara Israel, tetapi juga sebagai perlawanan terhadap pembantai yang dilakukan
Zionis terhadap orang-orang Arab Palestina pada saat itu.[2] Kekuatan
Arab dan Yahudi jelas tidak seimbang. Di satu pihak terdapat tentara Arab yang
terdiri atas tentara reguler negara-negara Arab di mana Mesir sendiri memiliki
hampir 20 juta penduduk. Di belakang tentara Arab ini berdiri Liga Arab yang
tampaknya bersatu dan bertekad menghancurkan Israel.[3]
Adapun
tentara Israel dipimpin Yaakov Dori, dengan Kolonel Yigal Yadin, penduduk asli
Yerusalem berumur 31 tahun, sebagai komandan operasional. Tentara Israel berjumlah sekitar 75.000 anggota. Dan mereka
mempunyai pasukan pembantu dalam membebaskan rekan-rekannya dari tugas di garis
depan.[4] Semangat
mereka tinggi dan perlengkapannya memadai. Senjata dan amunisi, bahkan pesawat
terbang, dibeli dari luar negeri, terutama dari Cekoslovakia, dan banyak yang
diselundupkan dari AS dan Eropa Barat. Sebagian sukarelawan Zionis dari AS dan
negara-negara lainnya, berpendidikan militer yang baik, ikut memperkuat pasukan
Israel [5]
Di
samping itu diam-diam Israel didukung total oleh Inggris dan Amerika. Akhirnya Israel
memenangkan peperangan tersebut. Akibat
perang itu, Israel malah mencaplok sekitar 70% dari luas total wilayah Mandat
Britania Raya (Inggris) atas Palestina. Pencaplokan itu semakin membuat Israel
leluasa mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya.[6]
Perang
anatara negara-negara Arab-Israel sebagai cara penolakan terhadap resolusi PBB
no. 181 karena sulitnya diplomasi terhadap negara-negara super power yang
mendukung Israel, sehingga Timur Tengah menjadi kawasan yang paling sering
dilanda perang[7].
Pembentukan
negara Israel dan perang Arab-Yahudi menimbulkan reaksi internasional yang
luas. Pada 20 Mei 1948 Dewan Keamanan menunjuk Coul Folke Bernadotte, ketua
Palang Merah Swedia, menjadi mediator bagi Palestina. Pekerjaan Bernadotte dan Dewan
yang menyangkut konflik itu merupakan babak yang ruwet dalam sejarah PBB. Di
bawah pengawasan PBB, Arab dan Yahudi
menyepakati dua genjatan senjata.
Pada
16 September 1948 Bernadotte menyarankan perubahan batas pembagian kepada
Majelis Umum PBB yakni menyerahkan Nejeb kepada negara Arab. Hari berikutnya ia
ditembak mati oleh teroris Yahudi di Yerusalem. Dr. Ralph Bunche dari AS
menggantikan tugasnya. Dibantu Komisi Konsiliasi, ia memprakarsai perundingan
genjatan senjata antar pihak yang berperang di Pulau Rhodes, Yunani.
Serangkaian
genjatan senjata disepakati (Januari-Juli 1949) Israel di satu pihak dan Mesir, Lebanon,
Transyordania, dan Suriah di pihak lain. Pada dasarnya persetujuan genjatan
senjata ini mempertahankan kedudukan teritorial yang dihasilkan perang. Ini berarti
tiga perempat wilayah Palestina jatuh ke tangan Israel. Perang ini secara de facto memperluas teritorial Israel
yang sekarang meliputi bagian utara,
barat, dan selatan Palestina. Arab hanya memiliki bagian tengah dan timur,
berdampingan dengan Transyordania, namun dengan koridor Yahudi yang lebar antara
Tel-Aviv dan Yerusalem, dan Jalur Gaza sepanjang Mediterania. Bagian tengah dan
timur diduduki Legium Arab Transyordania, sedangkan jalur Gaza oleh pasukan
Mesir.[8]
Mesir
merupakan negara yang ambil bagian dalam peperangan dengan Israel akibat
reaksinya dari pembentukan negara Israel secara sepihak oleh PBB.
Kemarahan masyarakat Mesir dan pemerintah
Mesir itu sendiri semakin memuncak membara, beribu laki-laki mendaftarkan diri
secara sukarela untuk tugas militer, angkatan darat dikirim ke Palestina, dan
para aktifis Ikhwanul Muslimin pimpinan
Hasan al-Banna serentak memasuki Israel dalam perang gerilya. Penduduk
keturunan Yahudi di Mesir, diserang,
milik mereka dirusak, dan status mereka di Mesir dalam keadaan bahaya.Tetapi di
sini tampak kelemahan Mesir. Mesir adalah negara yang pada saat itu berpenduduk
20 juta orang, hanya dapat mengirimkan pasukan dalam jumlah kecil dan sama
sekali tidak memadai di Palestina. Setelah tiba di Hebron sebelah timur dan
daerah pinggir kota Jaffa di bagian barat, mereka menderita kekalahan, dan
dengan susah payah mempertahankan Jalur Gaza yang sempit dan sebuah bukit kecil
di sekitar Auja di perbatasan Negeb-Mesir. Pasukan Yahudi bertindak sedemikian jauh sampai memasuki wilayah Mesir
menuju Al-Arish di Sinai. Inggris berusaha melerai dan memperingatkan Israel,
bahwa setiap invasi terhadap Mesir mungkin akan memaksa Inggris mengikuti
perjanjian 1936[9]
dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk pertahanan Mesir. Keinginan untuk
menekankan berlakunya perjanjian ini menyebabkan Inggris mengirimkan senjata ke
Mesir.[10]
Perlakuan Israel yang lebih merendahkan Mesir
daripada negara Arab lainnya adalah karena akibat perang tersebut, tanker
minyak terhalang mencapai Israel dan karena itu, sangat mengganggu lalu lintas maritim di
Terusan Suez. Sementara itu Inggris belum mau menyerahkan instalasi di Zona
Terusan karena pada saat itu Rusia mengancam Eropa dan Asia. Inggris dan
Washington menyadari bahwa untuk mempertahankan wilayah Eropa dan Asia Selatan
dan Mesir merupakan satu-satunya kawasan strategis sebagai penghubung utama
Samudera Hindia dan Laut Mediterania. Mesir adalah satu-satunya negara Timur
Tengah yang memiliki fasilitas teknik yang memadai (gudang, bengkel, pelabuhan,
lapangan terbang, dan pabrik) dan persediaan tenaga kerja yang cukup banyak
serta persediaan makanan sehingga mudah diubah menjadi markas militer yang
kuat. Dan kemudian muncul sikap anti Inggris dan anti Barat dalam politik luar negeri
Mesir[11].
Misalnya
dalam pemerintahan Nasser mengalihkan kerjasama di bidang militer dengan
Chekoslovakia dan Uni Soviet yang dilambangkan dengan selesainya pembangunan Bendungan
Aswan (1964). Betapapun eratnya hubungan antara Mesir dan Uni Soviet, tetap
saja Nasser tidak membiarkan berseminya komunisme di Mesir; landasan ideologi yang dicanangkan bagi pembangunan di
dalam negeri Mesir ialah sosialisme Arab yakni orientasi politik yang
berdasarkan kerakyatan.[12]
Menolak
keterikatan dalam salah satu blok dalam konfrontasi bipolar Barat Timur, Mesir
bergabung dengan Gerakan Non Blok (GNB), dan dengan keanggotaan Mesir dalam GNB
tidak mengurangi erat hubungannya dengan Uni Soviet.[13]
Dari
uraian di atas jelas, bahwa pada awal kemerdekaan Israel, respon Mesir khususnya dan negara-negara Arab Timur- Tengah
umumnya dengan tegas tidak mendukung dan tidak mengakuinya keberadaan Israel sebagai negara berdaulat. Bukan hanya
itu, mereka berperang dengan Israel
untuk membela hak-hak bangsa Palestina yang dijajah. Bahkan sebelum pelaksanaan
hari kemerdekaan Israel, pada 17 Desember 1947 Dewan Liga Arab mengumumkan,
bahwa ia menentang pembagian yang diusulkan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa menjadi tiga bagian-negara Yahudi, negara Arab dan sebuah negara
Khusus (Corpus Seaparatum) yang
berada di bawah hukum antarbangsa bagi kota Yerusalem.
[1] Anwar M. Aris,Jejak-jejak jJuang
Palestina , hlm 44
[2] Mulawarman Hannase, Ideologi
Yahudi tentang Yerusalem Dan Gerakan Politiknya, Kudus: MESEIFA Jendela
Ilmu, 2010, Cetakan Pertama, hlm 181
[3] George, Lenzczowski, Drs. Asghar
Bixby (alih bahasa), Timur Tengah di
Tengan Kancah Dunia, hlm 254
[5] Mulawarman hannase,Ideologi Yahudi tentang Yerusalem Dan
Gerakan Politiknya , hlm143
[6] Anwar M. Aris,Jejak-jejak Juang Palestina, hlm 44
[7] Seperti yang dituturkan
Walt Rostow (penasihat keamanan AS) dalam suratnya: hubungan AS di bawah
Presiden Johnson dan Israel demikian dekatnya sehingga kebijaksanaan yang
diambil seringkali dikordinasikan denganIsrael denga mengorbankan negara-negara
Arab. Lihat Paul Findley, Dioplomasi
Munafik Ala Yahudi, Bandung: Penerbit Mizan, 1995. Cetakan l hlm 71
[8]
Ibid
[9] Perjanjian
1936 antara Inggris-Mesir yang disepakati dan dikeluarkan pada 26 Agustus 1936
berisi: 1. Mesir
dan Inggris membuat suatu aliansi. Inggris
berjanji untuk membela Mesir melawan agresi, dan
Mesir memberikan fasilitas komunikasinya bila
terjadi perang. 2.Karena menyadari
kepentingan Inggris yang
vital di Terusan Suez, Mesir menerima 10.000
pasukan Inggris dan 400 pilot di Zone Terusan. Sejumlah barak akan dibangun atas biaya
Mesir. Pasukan Inggris akan menarik diri dari sisa daerah kekuasaan Mesir,
tetapi Inggris diizinkan
mempertahankan pangkalannya di Alexandria selama delapan tahun
lagi.dst.......(lihat dalam karangan George Lenczowski, Timur Tengah dalam Kancah Dunia, hlm 316)
[10] Lenczowski, George
Lenczwosk i,Drs. Asghar Bixby (alih bahasa), Timur Tengan di Tengah Kancah Dunia , hlm 314
[11] Ibid, hlm 330
[13] Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah hlm 152