- Back to Home »
- Hubungan diplomatik Mesir Dengan Israel Pasca Camp David
Posted by : Unknown
Kamis, 25 April 2013
Mesir
mulanya negara paling konsisten dalam menentang Israel pencaplokan wilayahPalestina
oleh Israel, dengan beberapa kali melakukan perlawanan militer terhadap Israe;l
namun kini telah luntur. Salah satu manuver dramatis Mesir (Anwar Sadat) adalah
prakarsanya membuat perdamaian dengan Israel. Inisitifnya ini dimulai dengan
kunjungan ke Yerusalem dan
pidatonya di depan Parlemen Israel, Knesset, pada November 1977.[1]
Dampak
perjanjian Camp David besar sekali
pada politik luar negeri Mesir, terutama
dalam lingkungan Dunia Arab. Mesir dikeluarkan sebagai anggota Liga
Arab, dan markas pusat Liga Arab dipindahkan dari Kairo ke Tunis. Berbagai bantuan dari negara-negara Arab dihentikan dan
Mesir praktis terkucil dari Dunia Arab, karena telah melakukan perjanjian
perdamaian tersendiri (separate peace)
yang bertentangan dengan kesepakatan antar-Arab untuk hanya menerima
penyelesaian perdamaian yang menyeluruh (comprehensive
peace).[2]
Dalam
lingkaran OKI maupun GNB, Mesir tidak
banyak mendapat dukungan terbuka; banyak negara yang lebih menampilkan sikap reserve untuk menjaga hubungan baik
dengan negara-negara arab lain yang menentang Camp David. Karena Camp David
hasil prakarsa AS tanpa mengikutsertakan Uni Soviet, jelas Uni Soviet tidak
menyatakan dukungannya pada hasil tersebut. Sikap Uni Soviet yang sudah ‘dingin’
terhadap Mesir karena tindakan Sadat memulangkan semua penasihat militer Rusia,
makin merenggang karena diabaikannya Uni Soviet dalam proses perundingan Camp David.[3] Demikianlah,
maka sejak Camp David ruang gerak bagi pelaksanaan bagi politik luar negeri
Mesir menjadi terbatas sekali.
Menanggapi hasil Camp David itu, diadakan
pertemuan puncak negara-negara arab di Baghdad yang mengeluarkan pernyataan
“mengutuk perjanjian Camp David.” Dengan pernyataan itu Mesir bukan saja
mengalami isolasi politik, melainkan juga dibekukannya sumber bantuan keuangan
yang sedianya diterima dari beberapa negara petro dolar Arab.[4]
Sebenarnya
Israel menerima perjanjian damai dengan Mesir
pada 1979 hanya setelah Mesir dan
Amerika Serikat secara mendasar setuju
untuk mengabaikan bangsa Palestina.
Disisi lain, Amerika Serikat menjanjikan bantuan untuk Israel sampai $3 milyar
dalam bentuk bantuan ekstra di luar jumlah tahunan yang diterimanya sekitar $2
milyar serta sejumlah besar peralatan militer tambahan untuk modernisasi
angkatan bersenjata termasuk dipercepatnya pengiriman pesawat-pesawat perang
F-16, yang terbaru dari angkatan udara Amerika.[5] Sedangkan
Mesir mendapatkan bantuan Amerika Serikat $ 2.1 milyar setiap tahun[6]. Demikian pula kepentingan ekonomi-politik AS
di Timur tengah menjadi semakin besar dengan keberadaan negara Israel. AS tidak
hanya memandang Israel sebagai “wakil” Barat di kawasan ini, namun juga
berkaitan dengan kenyataan adanya dominasi ekonomi-politik etnik Yahudi di AS.
Oleh karena itu bisa dipahami pula, jika Mesir dalam kebijakannya didominasi
kepentingan AS. Dan hal ini mengakibatkan ketergantungan Mesir kepada Amerika
baik secara ekonomi maupun militer. Sebagaimana
yang dipaparkan para ahli teoti ketergantungan seperti Prebisch, Furado dan
Sunkel bahwa;
“
berabad-abad lamanya negara-negara
dominan telah mencampuri urusan-urusan internal negara-negara lain. Dalam kasus
Amerika Serikat selama abad 19 dan 20, intervensi terjadi lewat
kemajuan-kemajuan Amerika Serikat dalam mewujudkan langkahnya. Pembentukan
institusi-institusi keuangan internasional membantu menyakinkan hegemoni
negara-negara dominan atas negara-negara dependen (tergantung), dan pembentukan
program-program bantuan sepereti Alliance
for Progress bertindak sebagai penyamar strategi-stretegi lama dalam
melayani kapitalisme Amerika Serikat. Amerika Serikat bertindak sebagai pihak
yang diuntungkan dengan mengangkat dunia terbelakang dan menyebarkan peradaban
dimana-mana.”[7]
Sementara
itu kondisi sosial dan ekonomi dalam negeri Mesirpun tidak membaik, malahan
kian memburuk. Kelompok-kelompok radikal mulai bermunculan dan memaksa Sadat menempuh garis keras dengan
jalan penangkapan besar-besaran terhadap gerakan yang menentang pemerintah.
Ironis sekali, Sadat terbunuh pada upacara kemiliteran peringatan Perang 1967
(6 Oktober 1981) yang memantapkan kepemimpinannya di Mesir sesudah Nasser.
Sejak
itu Mesir diperintah oleh Hosni Mubarak yang merupakan presiden keempat
Republik Arab Mesir. Hosni Mubarak terkenal sebagai pendukung penuh
kebijaksanaan politik Sadat, termasuk pelaksanaan politik luar negerinya dan
khususnya usaha Sadat mengakhiri berlarutnya masa ‘no war, no peace’ dengan Israel. Sekalipun perannya tidak terlalu
menonjol, Hosni Mubarak mendukung usaha Sadat untuk menyelesaikan sengketa
Arab-Israel memalui jalan perundingan, yang akhirnya dilaksanakan Mesir
berdasarkan perjanjian Camp David. Mubarak tidak merisaukan
terjadinya keretakan hubungan dengan negara-negara Arab lain yang menentang
Camp David.[8]
Sama dengan Sadat, Mubarakpun berpendapat bahwa negara-negara Arab tidak
mungkin berlama-lama mengucilkan Mesir. Keduanya berpendapat bahwa Mesir tetap
diharapkan menjalankan peran aktif bukan saja dalam usaha penyelesaian sengketa
Arab-Israel, melainkan terlebih lagi dalam penyelesaian permasalahan
antar-Arab. Namun demikian Mubarak menyadari, identifikasinya dengan
kebijaksanaan politik luar negeri yang dilakukan Sadat, khususnya dukungannya
terhadap persetujuan Camp David,
tidak memudahkan baginya untuk
selekasnya melakukan pendekatan terhadap negara-negara Arab guna memperbaki
hubungannya dengan Mesir.[9]
Sadat
mewariskan kepada Mubarak untuk memimpin Mesir yang terisolasi dari Dunia Arab
dan keterpurukan perekonomiannya karena dibekukannya bantuan keuangan yang
selama ini diterima dari sumber Arab. Maka bisa dimengerti, Mubarak terpaksa harus berpaling kepada AS
sebagai sumber bantuan utama; inipun sampai batas tertentu mengikat Mubarak
dalam pelaksanaan politik luar negerinya, terutama mengenai sengketa
Arab-Israel.[10]
Sementara
itu Israel mengakui peran Mesir dan hubungan Mesir –Israel semakin dekat. Hal
ini bisa dilihat volume kunjungan para pejabat Israel ke Mesir yang semakin
meningkat, mulai PM Ehud Barak, Pejabat Menlu Shlomo Ben Ami, hingga ketua
Partai Meretz, Yossi Sarid.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa Presiden Hosni Mubarak sejak lama menjadi pelayan
Amerika Serikat, juga kerap melayani kepentingan Israel. Sejak 28 Desember 2008 hingga 17 Januari 2009,
masyarakat dunia, khususnya masyarakat Mesir yang menjadi tetangga dekat Gaza,
mengutuk genosida Israel terhadap warga Gaza. Tapi pemerintah Mesir malah bertindak refresif terhadap warganya yang berdemonstrasi sebagai
aksi solidaritas terhadap warga Gaza.[11]
Misalnya
saja, Pintu gerbang Rafah adalah satu-satunya ‘jalan keluar’ bagi sisa warga
Gaza untuk bisa mengungsi dan menyelamatkan diri dari rudal-rudal dan senjata
pemusnah masal militer Israel lainnya. Meski rakyat Mesir dan hampir masyarakat
seluruh Dunia turun ke jalan meminta Hosni Mubarak membuka pintu Gerbang Rafah,
tapi Presiden yang memerintah lebih dari seperempat abad itu malah memerintahkan agar pintu itu ditutup
rapat dan diawasi secara ketat. Bukan hanya itu ketua Ikatan Dokter Arab di
Kairo menyatakan bahwa Hosni mubarak tegas menolak mengizinkan tim dokter dan
relawan lainnya memasuki wilayah Jalur Gaza. Pemerintah Mesir bersikukuh
menutup Rafah sampai Israel menyelesaikan “hajatnya”, meski dunia
internasional, Arab dan Islam mendesak segera membukanya.”[12]
Pada
8 Januari 2009, secara resmi pemerintah
Mesir menyarankan genjatan senjata.
Mesir menyarankan korban pembantaian (Palestina) dengan pihak pembantai
(Israel). Pemerintah Mesir hanya menekankan genjatan senjata dan perdamaian,
namun tidak membedakan pihak agresor dan pihak korban, mengaburkan persoalan
sebenarnya. Dan pada hari keenambelas berlangsungnya genosida di Gaza yang
meluhlantakan pemukiman warga, semua lapisan penduduk Mesir meminta Hosni
Mubarak memihak Palestina, tapi sang ‘diktator’ itu tetap ‘tutup mata dan tutup
kuping’. Setelah tidak membuka pintu Rafah, satu-satunya pintu masuk agar
bantuan medis bisa diterima warga Gaza. Hosni Mubarak mengizinkan jet-jet
tempur Israel memuntahkan rudal-rudalnya dari udara Mesir untuk
membumihanguskan sisa pemukiman warga Gaza.[13]
Melihat
kasus dan kondisi antara Mesir dan Indonesia ada persamaan dan perbedaan yang
tajam. Misalnya dalam persamaannya baik Mesir maupun Indonesia merupakan negara
yang mayoritas penduduknya Islam dan sama-sama termasuk negara berkembang yang pemimpin
sebelum Mubarak dan Soeharto mempunyai kebijakan yang sama yakni cenderung berkiblat ke Uni Soviet, dan pada masa Mubarak
dan Soeharto kebijakannya berubah cenderung ke AS. Namun bagi Indonesia
hubungan baiknya dengan AS lebih banyak diarahkan pada bidang ekonomi. Hubungan
Indonesia Amerika tidak didasarkan atas
dasar posisi masing-masing sebagai “stranger”
terhadap yang lainnya, tetapi atas dasar pengakuan adanya kepentingan bersama (common interest) untuk membangun
hubungan yang lebih baik dan bersahabat. Begitu juga dalam memfokuskan kebijakannya adalah pembangunan
ekonomi dengan mengutamakan kerja sama internasional seluas mungkin dan bantuan dan pinjaman dari negar-negara
lain, termasuk diantaranya dari AS. Namun tidak merupakan aliansi AS.
Di
samping itu kesamaan Indonesia-Mesir, peranan militer meluas, bukan saja pemegang
kekuasaan politik utama, tetapi juga menguasai hampir seluruh saluran-saluran
baik birokrasi maupun berbagai kegiatan ekonomi . Baik sebagai kesatuan maupun
perorangan para perwira tinggi melibatkan diri
dalam berjenis usaha ekonomi. Dan kesamaan yang menyolok dari berbagai
rezim yang didominasi golongan militer terletak pada sikap politik dan hubungan
elit dengan masa yakni kecenderungan memisahkan masa dari politik cukup
menonjol.[14]
Begitu pula militer Mesir lembaga yang
kekuatannya luar biasa, misalnya memiliki puluhan pabrik senjata dan
pabrik-pabrik yang memproduksi barang
kebutuhan masyarakat. Tak heran jika dalam pemilihan presiden 2009, Dr.
Ali Deen Hilal Dessouki (Sekretaris Media Partai Nasional Demokrasi),
menggambarkan Mesir sebagai negara yang mengaut sistem politik ala “Fir’aun”,
dan dia juga menyatakan bahwa “pusat kekuasaan yang paling riil di Mesir adalah
tentara”[15].
Adapun perbedaan antara keduanya misalnya;
Indonesia dan Mesir dalam lingkup kawasan,
memiliki peran penting dan strategis dalam kaitannya dengan negara-negra
lainnya. Indonesia dan Mesir mempunyai
kepentingan stabilitas kawasan yang berbeda baik secara ekonomi, politik mauupun
keamanan.Hubungan Indobnesia-AS bukanlah hubungan antar sekutu yang mendapat
perhatian langsung dari Presiden AS, karena pada setiap waktu Indonesia selalu
menunjukkan prinsip-prinsip “non-aligned”nya
terhadap AS. Berbeda halnya dengan Mesir yang sangat tergantung secara ekonomi,
politik, tehnologi dan militer pada Amerika Serikat, sehingga tidak ada posisi
tawar menawar yang dapat menyakinkan AS agar mau menerima desakan negar-negara
Arab untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina dan memaksa Israel untuk
mengikuti beberapa keputusan dan perjanjian yang sudah disepakati.[16]
Selain
itu, Indonesia secara konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk
mewujudkan negara Palestina yang berdaulat penuh. Dan secara konsisten pula, pemerintah Indonesia menolak mengakui negara
Israel; tidak membuka hubungan diplomatik
dan hubungan perdagangan dengan Israel. Sebaliknya Mesir, tidak hanya berdamai
dengan Israel melalui Perjanjian Camp David, tapi juga membuka hubungan
diplomatik dengan mengorbankan hak-hak syah bangsa Palestina.
[1]Mark Tessler, “The Camp David Accord and Palestinian
Problem”, dalam Ann Mosely Lesch and Mark Tessler, (ed), Israel,
Egypt and the Palestians: from Camp David to Intifada, Blomington
and Indianapolis: Indiana University Press, 1989. Halaman 3
[2] Mark Tessler dan Ann
Mosely Lesch, “Israeli’s Drive into the
West Bank Gaza”, halaman 211
[3] Sihbudi, Riza, Op-Cit, hlm 160
[4] Daniel Dishon, Inter-Arab Relation”, in Midle East
Contemporary Survey, Vol. Vlll, 1978-1979, New York & London: Holmes
and Meier Publisher, Inch, 214-229
[5] Findley, Paul, Diplomasi Munafik Ala Yahudi, Penerbit
Mizan, Bandung, 1995. Cetakan 1, hlm 294
[6] Bantuan ini sempat
diungkit AS karena Mesir dianggap menghambat proses perdamaian Timur-Tengah.
Dan Mesir menyatakan bantuan AS hanya sepertiga yang berbentuk uang tunai,
sisanya berbentuk senjata dan suku cadang buatan AS yang di pasok ke Mesir
[7] Ronald H. Chilcote; Teori Perbandingan Politik, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Cetakan Kedua, hlm 410
[8] Ibid, 262
[9] Ibid
[10] Tahqiq, Nanang (editor), Politik Islam, hlm 162
[11] Ibid, hlm 156
[12] Anwar
M. Aris, Israel Not Israel; Negara
Fiktif di Tanah Rampasan, Jakarta: Rajut Publishing House, 2009. hlm 157
[13]
Ibid
[14] Tentang militer dan
politik di Indonesia, lihat antara lain, Yahya Muhaimin, Perkembangan Militer
dalam Politik di Indonesia
(1945-1966), Yogyakarta: University Gadjah Mada, 1971. (Seri Penerbitan Skripsi
Terbaik); Harold Crouch, The Army and
Politics in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1978.
[15] Nurani Sunyomukti, Ben Ali, Mubarak, Khadafi, Bandung:
Penerbit Medium, 2011. Cetakan 1, halaman133
[16] Riza sihbudi, Profil Negara-negara Timur Tengah,
Jakarta: Dunia Pustaka jaya, 1995. Cetakan Pertama, hlm 79